Minggu, 08 November 2009

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TASWIRUL AFKAR SURABAYA TAHUN 1918-1926 (RELASI SANTRI – NASIONALIS)


oleh : M. Safik, S.Pd


A.     LATAR BELAKANG MASALAH

Madrasah dalam dekade abad XX ini merupakan lembaga pendidikan alternatif bagi para orang tua untuk menjadi tempat penyelengaraan pendidikan bagi putra putrinya. Bahkan pada daerah tertentu jumlah madrasah meningkat cukup tajam dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, sangat menarik untuk diteliti bagaimana sesungguhnya keberadaan madrasah ini dalam lingkup lembaga pendidikan di Indonesia.

Pertumbuhan suatu lembaga kependidikan tidaklah lahir dengan sendirinya, tetapi melalui proses sebagaimana juga terjadi dalam pertumbuhan lembaga lainnya dalam bidang sosial, politik, ekonomi, lembaga kemasyarakatan, perkembangan masyarakat, pemikiran dan gerakan, kecuali yang bersifat formal, tidaklah muncul dan berhenti pada satu patokan tahun, tetapi biasanya mengandung proses awal atau akhir yang menyebar dalam jarak waktu yang relatif panjang.[1]

Demikian pula halnya dengan madrasah, bila kita lihat pada awal pertumbuhannya termotivasi oleh keadaan dan situasi tertentu yang mengkondisikan madrasah itu tumbuh dengan dimotori oleh perseorangan atau lembaga swasta tertentu, hingga pada perkembangan selanjutnya adanya turut sertanya peran pemerintah.

Keberadaan lembaga pendidikan Islam di Indonesia erat hubungannya dengan masuknya agama Islam di Indonesia. Orang-orang yang telah masuk agama Islam ingin mengetahui dan mempelajari lebih lanjut tentang ajaran-ajaran Islam, ingin pandai dalam melakukan sholat, berdoa, dan membaca al-Quran. Dari sini mulailah tumbuh pendidikan agama Islam. Pelajaran agama Islam itu diberikan di rumah-rumah, surau, langgar, dan mesjid-mesjid. Di tempat-tempat inilah anak-anak, remaja dan orang tua belajar dasar-dasar keyakinan dan amalan keagamaan seperti rukun iman dan rukun Islam.

Pendidikan bagi anak-anak Indonesia pada mulanya hanya terbatas pada pendidikan rendah, akan tetapi kemudian berkembang secara vertikal sehingga anak-anak Indonesia, melalui pendidikan menengah dapat mencapai pendidikan tinggi meskipun melalui jalan yang sulit.

Lahirnya suatu sistem pendidikan bukanlah hasil suatu perencanaan menyeluruh melainkan langkah demi langkah melalui eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis dibawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi dan politik di negeri Belanda maupun di Hindia Belanda.

Pendidikan Islam merupakan pewarisan dan perkembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman pada ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam al-Quran dan terjabar dalam rangka terbentuknya kepribadian utama menurut barometer Islam.

Sebelum tahun 1900, kita mengenal pendidikan Islam secara perorangan, melalui rumah tangga dan surau/langgar atau masjid.[2] Pendidikan dan pengajaran agama Islam dalam bentuk pengajaran al-Quran dan pengajian kitab yang diselenggarakan di rumah-rumah, langgar/surau, mesjid, pesantren, dan pondok pesantren pada perkembangan selanjutnya mengalami perubahan bentuk baik dari segi kelembagaan, materi pengajaran (kurikulum), metode maupun struktur organisasinya, sehingga melahirkan suatu bentuk lembaga baru yang disebut madrasah.

Latar belakang pertumbuhan madrasah di Indonesia dapat dikembalikan pada dua situasi, pertama adanya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, dan kedua adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda.[3]

Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia muncul pada awal abad XX di latar belakangi oleh kesadaran dan semangat yang kompleks sebagaimana diuraikan Karel A. Steenbrink dengan mengidentifikasi adanya empat faktor yang mendorong gerakan pembaruan Islam di Indonesia, pertama faktor keinginan kembali kepada al-quran dan sunah, kedua faktor semangat nasionalisme melawan penguasa kolonial belanda, faktor memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik, dan keempat faktor untuk melekukan pembaruan pendidikan Islam di Indonesia.[4] Bagi tokoh-tokoh pembaruan, pendidikan kiranya senantiasa dianggap sebagai aspek yang strategis untuk membentuk sikap dan pandangan ke-Islaman masyarakat. Oleh karena itu, pemunculan madrasah tidak bisa lepas dari gerakan pembaruan Islam yang dimulai oleh beberapa tokoh-tokoh intelektual agama Islam yang selanjutnya dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam.

Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) adalah gabungan perusahaan-perusahaan Belanda untuk perdagangan di Hindia Timur yang didirikan di Amsterdam pada tahun 1602. Perusahaan ini diberi  piagam hak dagang monopoli oleh pemerintah Belanda di daerah sebelah timur Tanjung Harapan dan sebelah barat Selat Magalhaens. Mengingat bahwa bangsa Belanda beragama Protestan sedangkan orang-orang Indonesia yang dikuasai bangsa Portugis sebelumnya beragama Katolik, maka VOC disamping melaksanakan perdagangan, juga melaksanakan usaha memprotestankan pribumi yang telah beragama Katolik tadi. Untuk itu, VOC mendirikan beberapa sekolah di Indonesia, seperti tahun 1607 di Ambon yang kemudian pada tahun 1627 jumlahnya berkembang menjadi 16 sekolah di  Ambon dan 18 sekolah di pulau-pulau sekitar Ambon. Di Timor didirikan sekolah pada tahun 1617, bahkan antara tahun 1849-1852 didirikan pula 20 sekolah yang berlokasi pada setiap karesidenan oleh pemerintah Hindia Belanda, padahal sebelumnya telah ada 30 sekolah. Sekolah-sekolah tersebut diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan anak-anak Indonesia yang beragama Nasrani.[5]

Pada perkembangan selanjutnya di awal abad XX atas perintah Gubernur Jendal Van Heutsz sistem pendidikan diperluas dalam bentuk sekolah desa, walaupun masih diperuntukkan terbatas bagi kalangan anak-anak bangsawan. Namun pada perkembangan selanjutnya, sekolah ini dibuka secara luas untuk rakyat umum dengan biaya yang murah.[6]

Dengan terbukanya kesempatan yang luas bagi masyarakat umum untuk memasuki sekolah-sekolah yang diselenggarakan secara tradisional oleh kalangan Islam mendapat tantangan dan saingan berat, terutama karena sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda dilaksanakan dan dikelola secara moderen terutama dalam hal kelembagaan, kurikulum, metodologi, sarana, dan lain-lain. Perkembangan sekolah yang demikian jauh dan merakyat menyebabkan tumbuhnya ide-ide di kalangan intelektual Islam untuk memberikan respons dan jawaban terhadap tantangan tersebut dengan tujuan untuk memajukan pendidikan Islam. Ide-ide tersebut muncul dari tokoh-tokoh yang pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah atau pendidikan Belanda. Mereka mendirikan lembaga pendidikan baik secara perorangan maupun secara kelompok/organisasi dalam bentuk lembaga yang dinamakan madrasah atau sekolah.

Madrasah-madrasah yang didirikan tersebut antara lain, madrasah Adabiyah, madrasah ini didirikan oleh Syeikh Abdullah Ahmad pada tahun 1907 di Padang Panjang, Sumatra Barat.[7] Madras School didirikan pada tahun 1910 oleh M. Thaib Umar di Sugayang, Batusangkar, Sumatra Barat,[8] madrasah diniyah didirikan pada tanggal 10 oktober 1915 oleh Zainudin Labai L. Yunusiy di Padang Panjang Sumatra Barat,[9] Sumatra Tawalib secara formal membuka madrasah di Padang Panjang, Sumatra Barat pada tahun 1921 dibawah pimpinan Syekh Abdul Karim Amrullah,[10] dan madrasah-madrasah lainya pada masa itu.

Sementara itu di Surabaya berdiri sebuah perkumpulan Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) yang dihimpun oleh ulama-ulama yang berfaham tradisionalis (faham yang mempertahankan sistem bermadzab). Selain itu, seorang tokoh pergerakan HOS Tjokroaminoto, turut pula membantu. Segera setelah mendapat rectspersoon (setatus badan hukum) dari pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1916, Nahdlatul Wathan berhasil mendirikan cabang di berbagai daerah, seperti Sidoarjo, Gresik, dan Malang.

Setelah Nahdlatul Wathan tebentuk, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Mas Mansur mendirikan Taswirul Afkar (bertukar pikiran). Sebuah perkumpulan yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, dan dakwah. Jika Nahdlatul Wathan didirikan bersama dengan seorang saudagar, arsitek dan juga dibantu oleh tokoh pergerakan, maka Taswirul Afkar didirikan bersama KH. Achmad Dahlan (seorang pengasuh pondok Kebondalem), dan R. Mangun (anggota perhimpunan Budi Utomo). Seperti juga namanya, Taswirul Afkar lahir melalui diskusi-diskusi kecil diantara para pendiri mengenai berbagai masalah keagamaan dan kemasyarakatan yang timbul kala itu.

Sejak didirikan pada tahun 1918 hingga tahun 1929, nama yang tertulis di papan pengenal adalah Suryo Sumirat Afdeeling Taswirul Afkar.[11] Ini menunjukkan bahwa, secara organisatoris pada awal mula Taswirul Afkar tidak berdiri sendiri. Tapi, merupakan bagian dari Suryo Sumirat sebuah perkumpulan yang didirikan oleh anggota perhimpunan Budi Utomo yang ada di Surabaya. Hal ini sekedar untuk  mempermudah mendapatkan ijin dari pemerintah Hindia Belanda. Sehingga cara ini ditempuh dengan menjadikan Taswirul Afkar bagian dari Suryo Sumirat.[12] Karena itu, tidak heran jika Dr. Soetomo, seorang nasionalis pendiri Budi Utomo (20 Mei 1908), kemudian Indonenesische Studieclub (1924),[13] justru banyak bergaul dengan ulama-ulama muda seperti KH. Wahab Chasbullah dan KH. Mas Mansur.

Sikap Suryo Sumirat mencerminkan semangat pergaulan itu. Apalagi, anggota yang tergabung di dalamnya terdiri dari berbagai golongan. Karena itu, ketika golongan santri ingin mendirikan perkumpulan yang bergerak  di bidang sosial keagamaan, anggota Suryo Sumirat yang bukan santri tidak merasa keberatan, bahkan menyetujuinya. Maka lahirlah Suryo Sumirat Afdelling Taswirul Afkar.

Mengenai permasalahan penelitian ini, sebenarnya sudah banyak peneliti terdahulu yang meneliti mengenai madrasah dan perkembangannya, misalnya: Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai karya Zamakhsyari Dhofier, Pesantren dalam Perubahan Sosial karya Manfred Ziemek dan Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen karya Karel A. Steenbrink serta banyak lagi karya-karya tentang madrasah dalam aspek yang luas dan jarang memfokuskan kajiannya pada madrasah tertentu. Kalaupun ada, mungkin yang dikaji adalah madrasah-madrasah yang sudah dikenal luas oleh publik seperti madrasah Salafiyah Tebuireng Jombang, Madrasah Adabiyah, Sumatra Tawalib. Peneliti sendiri memfokuskan pada perkembangan salah satu madrasah yang didirikan oleh ulama-ulama tradisionalis yang berada di Surabaya, dimana dalam perkembangannya ada semacam gejala anomalik dalam lembaga tersebut yakni relasi para elit madrasah tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SURABAYA SEBAGAI PUSAT PENDIDIKAN DAN PERGERAKAN

A.     PERKEMBANGGAN PENDIDIKAN ISLAM DI SURABAYA

Sebelum tersentuh dengan pendidikan yang bercorak modern, bangsa Indonesia telah mengenal sistem pendidikan yang sifatnya tradisional. Sejak zaman Hindu pendidikan tradisional telah berkembang dengan baik di bumi Nusantara. Karya-karya tulis pada masa ini yang terkenal antara lain adalah Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa (1019), Bharata Yudha karya Mpu Sedah (1157), Negara Kertagama karya Mpu Prapanca (1331-1389), serta kitab Pararaton.[14]

Pendidikan pada masa ini umumnya masih menekankan pada masalah keagamaan, pemerintahan, setrategi perang, ilmu kekebalan dan latihan kemahiran menunggang kuda dan teknik memainkan senjata. Pendidikan dilakukan oleh para Brahmana dalam jumlah terbatas di sebuah padepokan, dan para siswanya tinggal serumah dengan gurunya. Selain proses belajar mengajar dilaksanakan di padepokan, para bangsawan, ksatria  atau para pejabat kerajaan lainnya dapat meminta guru datang ke istana untuk mengajari putra-putri mereka.[15]

Ketika Islam masuk ke Indonesia, sistem pendidikan yang digunakan secara umum masih mengikuti pola sebelumnya. Proses belajar mengajar umumnya dilakukan di langgar dan pesantren.[16] Kenyataan bahwa Islam dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, khususnya penduduk Pulau Jawa, tidak bisa dilepaskan dari proses panjang Islamisasi yang dilalui, dimana pesantren secara intensif terlibat di dalamnya,[17] bahkan institusi ini menjadi salah satu media pengaruh Islam dalam pembinaan moral bangsa Indonesia.[18] Selama proses panjang Islamisasi tersebut, pesantren dengan catious policy telah melakukan akomodasi dan transformasi sosio-kultural terhadap pola kehidupan masyarakat setempat. Secara historis, pesantren dinilai tidak hanya mengemban misi dan mengandung nuansa keislaman, tetapi juga menjaga nuansa keaslian (indigenous) Indonesia karena lembaga sejenis telah berdiri sejak masa Hindu-Budha, sedangkan pesantren tinggal meneruskan dan mengislamkan saja.

Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia kemudian searah dengan peta penyebaran agama Islam tersebut. Materi pelajaran masih sangat sederhana yaitu dengan mengucap kalimat syahadat, sebab barang siapa yang sudah bersyahadat berarti seseorang tersebut sudah menjadi Islam. Dari sinilah pendidikan Islam beranjak dari hal-hal yang paling mudah kemudian dengan cara berangsur-angsur dan sedikit  demi sedikit diperkenalkan tentang substansi dari ajaran Islam yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pada awal perkembangan agama Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan secara informal, seperti dikemukakan bahwa agama Islam datang ke Indonesia dibawa oleh para pedagang muslim. Sambil berdagang mereka menyiarkan agama Islam, setiap ada kesempatan mereka memberikan pendidikan dan ajaran agama Islam berupa contoh dan suri teladan yang baik, sehingga dengan cepat masyarakat nusantara tertarik untuk memeluk agama Islam.

Sejarah pendidikan Islam di Indonesia yang berkembang pada masa itu tidak bersifat sama dan seragam pelaksanaannya, tapi masih berdasarkan kedaerahan dan belum berpusat seperti masa sekarang. Sebab itu tiap-tiap daerah melancarkan pendidikan dan pengajaran Islam menurut daerahnya masing-masing. Pendidikan Islam di Jawa berlainan keadaannya dengan di Sumatera dan berlainan pula dengan di Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan lain-lain.[19] Perbedaan tersebut tidaklah terlalu prinsipil, dalam arti pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia masih menunjukkan kesamaan dalam beberapa hal yaitu antara lain dari aspek metode pengajaran dan kurikulum pendidikan.

Karena itu penulis sengaja untuk mengkategorikan perkembangan yang sama terhadap pendidikan Islam di Indonesia, dan pembahasan penulisan berikut ini juga tidak memberikan spesifikasi terhadap sejarah pendidikan Islam di tempat tertentu. Secara luas karakteristik pendidikan Islam di Indonesia menunjukkan perkembangan yang hampir sama, khususnya pada awal abad XX. Sampai pertengahan akhir abad XIX, model pendidikan Islam secara garis besar terangkum dalam pendidikan surau/langgar dan pesantren.[20] Sistem pendidikan Islam ini disebut dengan pendidikan Islam  tradisional atau klasik.

Perubahan baru terjadi menjelang awal abad XX, ketika muncul pembaharuan pendidikan Islam sebagai reaksi terhadap gejala pembaharuan Islam dan penyesuaian terhadap kebijakan pemerintah kolonial dalam bidang pendidikan. Pembaharuan pendidikan Islam terealisasi  dengan  munculnya sistem madrasah. Masa awal pembaharuan tersebut di Surabaya ditandai dengan berdirinya al-Irsyad, Nahdlatul Wathan yang dipelopori oleh Wahab Hasbullah, Mas Mansur, Kiai Ridwan Abdullah, dan H. Abdul Kahar seorang saudagar asal Surabaya sebagai penyandang dananya.[21] Menjelang tahun 1919 madrasah yang sehaluan berdiri di daerah Ampel, dengan nama Taswirul Afkar yang tujuan utamanya adalah menyediakan tempat bagi anak–anak untuk mengaji dan belajar, yang nantinya ditujukan menjadi “sayap” untuk membela kepentingan kalangan Islam yang berpaham Ahlus Sunnah Wal Jam’ah.[22] Pembaharuan sistem pendidikan Islam terjadi secara signifikan kemudian seiring dengan berdirinya organisasi-organisasi yang berdasarkan gagasan pembaharuan Islam, seperti Muhammadiyah, Jamiat al-Khair, Persis dan lain sebagainya. Organisasi secara intensif melakukan pembaharuan pendidikan Islam, baik dalam bentuk sekolah, madrasah maupun pesantren.

Pembaharuan sistem pendidikan Islam tersebut tidak secara otomatis merubah sistem pendidikan Islam lama, yaitu Pesantren. Model pendidikan ini terus bertahan sebagai sistem pendidikan tradisional  yang keberadaannya masih dapat dilihat sampai sekarang.

a.        Pesantren: Model Pendidikan Tradisional

Pengertian pesantren dalam pembahasan ini mengacu pada sebuah pengertian, yaitu pesantren tradisional seperti definisi yang diberikan oleh Mastuhu.[23] “Pesantren adalah lembaga pendidikan trdisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari”. Lebih lanjut ia menjelaskan, pengertian “tradisional” disini menunjukkan bahwa lembaga ini sudah berdiri sejak ratusan tahun yang lalu, sekitar 300-400 tehun yang lalu dan telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan hidup umat. Pengertian tradisional disini tidak berarti statis, tanpa mengalami perubahan dan perkembangan; tetapi mempunyai makna dinamis. Dengan kata lain, tradisional lebih merupakan lawan modern. Oleh Nurcholish Madjid, istilah ini diperhalus untuk tridak menyebutkan salafiyah, dengan istilah penganut sistem nilai ahl al-sunnah wa al-jama’ah.[24]

Definisi lain yang diberikan oleh Sudjoko Prasodjo:

Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara non klasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut”.[25]

 

Dengan demikian, dalam lembaga pendidikan Islam yang disebut pesantren sekurang-kurangnya ada unsur-unsur seperti kiai, masjid, sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan, dan pondok atau asrama sebagai tempat tinggal para santri. Bahkan dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan tentang Joko Tingkir yang berguru pada Ki Ageng Sela yang sebelumnya Ia terlebih dahulu berguru pada Sunanan Kali Jogo sebagai guru pertamanya,[26] dan selanjutnya Jaka Tingkir berguru pada Ki Ageng Banyubiru (saudara seperguruan ayahnya). Setelah itu, ia kembali ke Demak bersama ketiga murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil.[27] Tentunya model pemondokan yang dipakai dimungkinkan masih cukup sederhana yakni antara guru dan murid bisa jadi tinggal dalam satu tempat mengingat jumlah santrinya tidak sebanyak seperti saat ini.

Pesantren bukanlah semacam sekolah atau madrasah walaupun dalam lingkungan pesantren belakangan ini telah banyak pula didirikan unit-unit pendidikan klasikal dan kursus-kursus. Berbeda dengan sekolah, pesantren mempunyai kepemimpinan, ciri-ciri khusus semacam kepribadian yang diwarnai oleh karakteristik pribadi kiai, unsur-unsur pimpinan pesantren; bahkan juga aliran keagamaan tertentu yang dianut. Pesanten bukan semata lembaga pendidikan melainkan juga sebagai lembaga kemasyarakatan. Ia memiliki pranata tersendiri yang memiliki hubungan fungsional dengan masyarakat dan hubungan tata nilai dengan kultur masyarakat tersebut, khususnya yang berada dalam lingkungan pengaruhnya.[28]

Sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh pesantren sangat berbeda dengan pendidikan madrasah atau model sekolah yang ada sekarang ini. Dalam pesantren, para siswa yang disebut santri belajar dan mengamalkan ajaran Islam selama 24 jam di dalam suatu tempat yang dinamakan pondok. Dengan bimbingan guru agama Islam yang disebut Ustadz atau Kyai, mereka berinteraksi langsung dalam belajar dan mengamalkan ajaran Islam. Interaksi yang dilakukan antara para santri dan gurunya bersifat kontinyu karena mereka hidup bersama dalam suatu tempat yang sama selama beberapa waktu lamanya.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indoneisa, diakui sebagai alat penting dalam proses transformasi nilai-nilai dan ajaran agama Islam di Indonesia. Peran ini tidak bisa dianggap remeh karena begitupun kondisi umat Islam di Indonesia selama ini seringkali berhubungan erat dengan keberadaan dan peran pesantren ditengah-tengah masyarakat.

Sebagai sistem pendidikan Islam, pesantren mempunyai corak sendiri terkait dengan sistem pendidikan Islam, yaitu menyangkut sistem, kurikulum dan metode pengajarannya.

Tujuan pendidikan pesantren diartikan sebagai setiap maksud dan cita-cita yang ingin dicapai, terlepas apakah cita-cita tersebut bersifat tertulis atau hanya disampaikan secara lisan. Terlalu sulit untuk dapat menemukan rumusan tujuan pendidikan pesantren secara tertulis yang dapat dijadikan acuan tujuan dari keberadaan tiap-tiap pesantren. Namun secara sederhana Ziemek mengatakan bahwa secara umum, tujuan pendidikan pesantren ini mengikuti dalil:

"Pendidikan dalam sebuah pesantren ditujukan untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin akhlak dan keagamaan. Diharapkan bahwa para santri akan pulang ke masyarakat mereka sendiri-sendiri untuk menjadi pemimpin yang tidak resmi atau kadang-kadang pemimpin resmi dari masyarakatnya".[29] 

Rumusan tersebut terdapat titik singgung jika dibandingkan dengan ayat al-Quran 9:22, yang artinya adalah: "Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya supaya mereka dapat menjaga dirinya". Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren dalam merumuskan tujuan dan cita-cita tersebut selalu merujuk pada nilai-nilai yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah nabi, baik rumusan dalam bentuk tertulis maupun yang disampaikan secara lisan oleh Kyai.[30]

Aspek lain yang terdapat dalam sistem pendidikan pesantren adalah kurikulum. Kurikulum pesantren sebenarnya merupakan seluruh kegiatan yang dilakukan pesantren dalam waktu dua puluh empat jam. Suasana pesantren yang mencerminkan kehidupan sederhana, disiplin, rasa sosial, mengatur hidup sendiri, ibadah dengan tertib dan sebagainya memberikan nilai tambah dalam keseluruhan proses belajar yang tidak biasa terdapat dalam model pendidikan lain di luar pesantren. Hal ini berarti bahwa belajar di pesantren tidak hanya sekedar mempelajari naskah-naskah klasik, namun suasana keagamaan dan kebersamaan dengan beberapa kegiatan tambahan ikut serta dalam menentukan pembentukan kepribadian santri.

Penerapan kurikulum antara satu pesantren dengan pesantren lain tidaklah sama persis, apalagi bila pembatasan arti kurikulum hanya sebagai bahan atau materi pelajaran yang diterapkan oleh pesantren. Namun secara umum, materi pelajaran yang disampaikan dalam pesantren antara lain adalah tentang masalah aqidah, syariah dan bahasa Arab. Didalamnya meliputi antara lain al-Quran dengan tajwid serta tafsirnya, aqoid dengan ilmu kalamnya, fiqh dengan ushl fiqhnya, hadits dengan musolah haditsnya dan bahasa arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, shorof, bayan, maani, badi’ dan arudl dan mantiq serta tasawuf.[31]

Kemudian dalam penyampaian kurikulum pengajaran, pesantren menerapkan metode pengajaran yang khas. Penyampaian materi pelajaran antara guru dengan murid adalah dengan metode pengajaran non klasikal yaitu metode pengajaran wetonan dan sorogan. Di beberapa daerah, metode ini diistilahkan dengan bendungan atau bandongan, di Sumatera digunakan istilah halaqoh. Dalam metode wetonan (halaqoh), terdapat seorang kyai  membaca suatu kitab tertentu sedangkan santrinya juga membawa kitab yang sama. Para santri lalu mendengarkan dan menyimak bacaan kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif. Sedangkan dalam metode sorogan, seorang santrinya dianggap cukup pandai untuk men-sorog-kan (mengajukan) sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca dihadapannya, kesalahan dalam bacaan ini langsung dibanarkan oleh kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar individu.[32]

Mengenai pendidikan model pesantren ini menurut Suwandi, di Surabaya pada sekitar abad XX terdapat kurang lebih sekitar seratus enam puluh dua (162) buah lembaga model ini.[33] Umumnya pendidikan pada masa itu masih bersifat sederhana sekali yakni para santrinya hanya diajari cara membaca al-Quran dan meyimak gurunya dalam membaca kitab-kitab yang bertuliskan huruf Arab. Dan komposisi santrinya adalah anak-anak antara usia 12 sampai 15 tahun.

Lembaga pendidikan Islam yang sejenis yang berkembang di Surabaya adalah lembaga pendidikan yang menampung kelompok santri dewasa. Mereka belajar membaca kitab di bawah bimbingan seorang Kiyai, kitab-kitab tersebut antara lain Kitab Tupah, Ukman, dan sebagainya. Kitab-kitab tersebut memuat hal-hal yang berkaitan dengan hukum dan tafsir yang tidak terdapat di dalam Al-Quran,[34] diantara sekian banyak lembaga pendidikan tersebut dua diantaranya yaitu Pesantren Sawahan terdapat di kampung Sawah (terletak tak jauh dari kompleks makam Sunan Ampel) dimana di sana terdapat beberapa pesantren dan tempat-tempat pengajian, Pesantren Sidosermo, yaitu Pondok Pesantren Salafiyah “An-Najiyah”, yang mengajarkan ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) dan Sharaf (perubahan bentuk dan kata dalam bahasa Arab).[35]

b.        Madrasah: Model Baru Pendidikan Islam

Madrasah di Indonesia secara historis memiliki karakter yang sangat populis (merakyat), berbeda dengan madrasah pada masa klasik Islam. Sebagai lembaga pendidikan tinggi madrasah pada masa klasik Islam terlahir sebagai gejala urban atau kota. Madrasah pertama kali didirikan oleh Dinasti Samaniyah yakni Nizamiyah (204-395 H/819-1005 M) di Naisapur kota yang kemudian dikenal sebagai daerah kelahiran madrasah. Daerah Naisapur mencakup sebagian Iran, sebagian Afghanistan dan bekas Uni-Sovyet antara Laut Kaspia dan Laut Aral. Dengan inisiatif yang datang dari penguasa ketika itu, maka praktis madrasah tidak kesulitan menyerap hampir segenap unsur dan fasilitas modern, seperti bangunan yang permanen, kurikulum yang tertata rapi, pergantian jenjang pendidikan, dan tentu saja anggaran atau dana yang dikucurkan oleh pemerintah. Hal ini berbeda dengan madrasah di Indonesia. Kebanyakan madrasah di Indonesia pada mulanya tumbuh dan berkembang atas inisiatif tokoh masyarakat yang peduli, terutama para ulama yang membawa gagasan pembaharuan pendidikan, setelah mereka kembali dari menuntut ilmu di Timur Tengah. Dana pembangunan dan pendidikannya pun berasal dari swadaya masyarakat. Karena inisiatif dan dananya didukung oleh masyarakat, maka masyarakat sendiri diuntungkan secara ekonomis, artinya mereka dapat memasukkan anak-anak mereka ke madrasah dengan biaya ringan.[36]

Menjelang abad XX dan awal abad ini telah terjadi perubahan baru dalam pendidikan Islam di Indonesia dari sistem pendidikan yang masih tradisonal menuju pada sistem lembaga pendidikan yang lebih moderen.

Periode pertama perubahan tersebut dikenal dengan istilah masa peralihan pendidikan Islam (tahun 1900-1908). Jika sebelum tahun 1900 lembaga-lembaga pendidikan Islam masih relatif sedikit dan berlangsung secara sederhana, lain halnya ketika pada masa peralihan dimana telah banyak berdiri tempat-tempat pendidikan Islam yang lebih baru dibanding pendidikan Islam sebelum abad XX. Di Sumatera misalnya, dengan berdirinya surau di Sungayang Batu-Sangkar oleh H.M. Thaib Umar, Surau Parabek Bukit Tinggi oleh H. Ibrahim Parabek dan di Jawa dengan berdirinya Pesantren Tebuireng, namun sistem madrasah belum dikenal.[37]

Terjadinya perubahan baru pada sistem pendidikan Islam tersebut seringkali dikatakan sebagai akibat dari mulai masuknya gagasan pembaharuan Islam. Periode peralihan ini dipelopori oleh Syekh Khatib Minangkabau dan kawan-kawannya yang mengajar di Mekkah. Murid-muridnya kemudian meneruskan gagasan tersebut, seperti H. Abdul Karim Amrullah mengajar di surau Jembatan Besi Padang Panjang, K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), K.H. Adnan di Solo dan K.H. Hasyim Asy'ari (pendiri pesantren Tebuireng dan NU).

 

B.     PENDIDIKAN MODEL BARAT DI SURABAYA

Perkembanggan pendidikan di Hindia-Belanda pada awal abad XX tidak terlepas dari proses perkembangan sebelumnya. Pendirian lembaga pendidikan mulai ada sejak pemerintahan Gubernur Jendral Deandels (1808-1811). Pemerintah Deandels di Indonesia membawa perubahan besar khususnya di bidang pendidikan, hakekatnya penyelenggaraan pendidikan itu merupakan usaha untuk mendemoralisasikan pemuda-pemuda Indonesia. Kalau pada masa pemerintahan Deandels perhatian pengajaran hanya untuk rakyat saja, maka pada pemerintahan Raffles perkembangan pengetahuan mendapat perhatian sepenuhnya.

Setelah Raffles (Inggris) menyerahkan Hindia-Belanda pada tahun 1816 kepada Belanda, mulailah pemerintah kolonial Belanda menaruh perhatian pada masalah perluasan pengajaran. Dalam usaha perluasan pengajaran ini, pemerintah Belanda menunjuk C.G.C. Reinwardt untuk menjalankan tugas tersebut. Usaha Reinwardt yang pertama adalah menyiapkan perangkat undang-undang tentang pengajaran yang menurutnya merupakan dasar bagi pendirian sekolah-sekolah di Hindia-Belanda.[38] Pada tahun 1818 keluarlah Peraturan Pemerintah (PP) yang berisi tentang peraturan umum bagi persekolahan dan sekolah rendah,[39] dimana PP tersebut menghasilkan beberapa ketentuan mengenai pengawasan dan penyelenggaraan pendidikan rendah bagi bangsa Belanda. Dalam PP itu antara lain disebutkan mata pelajaran yang perlu disampaikan yaitu, mata pelajaran membaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda, sejarah dan ilmu bumi.[40]

Di kota Surabaya, lembaga pendidikan barat tertua dan juga sekaligus merupakan cikal bakal lembaga pendidikan di kota ini adalah sekolah milik C.C. Warner (1818). Lembaga ini oleh Warner lebih dipergunakan khusus untuk menampung anak-anak dalam kalangan ekonomi kurang mampu.[41] Namun dalam perkembangannya sekolah ini bayak ditinggal oleh muridnya dan pada tahun 1862 sekolah ini tutup setelah pemiliknya wafat.

Seiring dengan kebutuhan akan tenaga kerja sebagai dampak diberlakukannya kebijakan culture stelsel, sehinnga kebutuhan akan sekolah kian dirasakan. Pada tahun 1831 di kota Surabaya sudah terdapat tiga buah sekolah yaitu sebuah sekolah dasar negeri dengan dua orang guru dan delapan puluh enam siswa, sebuah sekolah untuk penduduk miskin dengan empat puluh dua siswa yang dikelola oleh yayasan protestan dari dana almarhum F.J. Mader, dan sebuah sekolah swasta yang kurang berkembang. Melalui surat keputusan No. 37 tanggal 2 September 1849 sekolah negeri kedua didirikan di Surabaya. Pada tahun 1856 didirikan lagi sekolah negeri ketiga yang dibangun menyatu dengan sekolah negeri sebelumnya.[42] Sampai akhir abad ke XIX sebenarnya kegiatan pendidikan lebih diperioritaskan bagi orang-orang Eropa. Baru setelah dikeluarkannya Staatsblad No. 125 pendidikan dapat diselenggarakan bagi oran Eropa dan Bumiputra.

Sejak dikumandangkannya Etische Politiek pada tahun 1904, pendidikan di Hindia-Belanda mengalami kemajuan yang pesat terutama pendidikan dasar dan menengah. Banyak sekolah-sekolah yang didirikan utamanya di kota-kota besar seperti Surabaya, sekolah-sekolah itu meliputi Volks School (Sekolah Desa) dengan lama belajar tiga tahun, Vervolks School (Sekolah Rendah enam tahun). Dengan melalui Schakel School selama dua tahun, lulusan Vervolks School dapat melanjutkan ke Inheems MULO selama tiga tahun.

Sebagian besar sekolah dasar swasta baik yang dikelolah oleh lembaga agama maupun netral dapat memenuhi kebutuhan akan pendidikan dasar. Kebanyakan sekolah ini dibuka pada saat peraturan subsidi sangat memungkinkan. Lembaga pendidikan ini pengelolaannya lebih baik dan menempati bangunnan yang lebih indah dari pada sekolah negeri. Sekolah Bruder dan Suster milik Katholik selain berada di kota hilir juga di Kampung Baru di Coen Boulevard (sekarang jalan Dr. Sutomo) terdapat bangunan yang dipergunakan untuk sekolah dasar, HBS-5 wanita, HBS-3, sekolah pendidikan guru wanita dan sekolah taman kanak-kanak.[43]

Pendidikan yang diselenggarakan oleh pihak Kristen Eropa terdapat di Jl. Van Riebeck (sekarang Jl. W.R. Supratman) adalah sekolah Nassau. Pada tahun 1860 terdapat Katholike MULO St. Aloyssius, khususnya untuk mendidik calon biarawati. Untuk MULO Kristen dibangun di gedung yang indah di samping kantor pusat Aniem di jalan Embong Wungu. Sekolah Dasar Eropa (ELS) yang dimiliki ada dua buah yakni satu di Tegalsari dan Ambengan. Kemudian di jalan Speelman (Darmo) lembaga Kristen mengadakan Taman Kanak-Kanak dan sebuah sekolah dasar serta sekolah pendidikan bagi calon guru wanita.

Dengan demikian yang di atas adalah sekolah-sekolah swasta yang murni didirikan oleh pihak misionaris agama bukan MULO yang pedidikannya berorientasi Barat. Di Surabaya sekolah MULO baru dibuka tahun 1920/1921 dengan lokasi di Praban (sekarang SMP 3 Surabaya).

Pada tahun 1912 sekolah kejuruan Koningin Emma School (KES) didirikan di kampung Sawahan. Sebelumnya pada tahun 1909 telah dibuka sekolah dasar teknik yaitu sekolah dasar pertukangan bagi orang pribumi. Di sekolah ini kurikulumnya kerajinan kayu dan besi selain teknik mesin.[44] Ada juga Middele Technische School yang terletak di Paris Hendriklaan (sekarang jalan Patua) dibangun pada tahun 1919.[45] Bagi kota Surabaya yang merupakan kota industri keberadaan lembaga semacam ini sangat dibutuhkan.

 

C.     SURABAYA SEBAGAI PUSAT PERGERAKAN PEMUDA

Pada awal abad XX ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan kebijakan poliik etis di kota-kota besar khususnya, Surabaya mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Kota Surabaya sebagai pusat kegiatan transaksi perdagangan, pusat pendidikan, pusat kekuatan armada Belanda, juga membawa pengaruh yang sangat besar sekalipada pertumbuhan pergerkan nasional kita.

Merupakan hasil dari politik etis ini maka golongan cerdik pandai di Surabaya semakin berkembang pula. Golongan cerdik pandai ini merupakan lapisan masyarakat yang sadar akan dirinya dan menyadari keadaan yang terbelakang dari masyarakatnya. Lapisan intelektual ini, setelah tingkat kesadarannya memadai, kemudian mulai bangkit menjadi kekuatan sosial baru, yang berjuang untuk memperbaiki nasib dari bagsanya. Gerakan yang dilakukan oleh para cendikawan ini kemudian disebut pergerakan nasional. Merekalah yang merupakan pendukung gerakan nasional yang paling aktif pada tahap permulaannya.

Pada mulanya, pemerintah kolonial memandang pendidikan hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pemerintah kolonial sendiri. Namun, seiring dengan bejalannya waktu kaum terdidik atau kaum intelektual ini merupakan senjata makan tuan karena dari kaum inilah gerakan kebangkitan nasional lahir di Indonesia.

Dari sektor pendidikan muncul kelas baru golongan berpendidikan, yang meskipun sebagian masuk dalam birokrasi dan karena itu menjadi priyayi, tetapi mereka menunjukkan semangat baru sebagai sebuah kelas yang mencari tempat dalam masyarakat. Pertemuan antara golongan kelas menengah lama pribumi, golongan terpelajar, dan golongan pekerja di kota-kota menjadi tumpuan bagi timbulnya gerakan nasional. Dapat dikatakan bahwa pergerakan nasional adalah hasil budaya kota itu, yaitu ketika kelas-kelas baru memerlukan ideologi baru yang membenarkan kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat tradisional dan kolonial.

Sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda mempunyai tujuan memenuhi tenaga buruh untuk kepentingan kaum modal belanda. Ada yang sebagian dilatih dan didik untuk menjadi tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga perrtanian dan yang lain-lainnya yang diangkat sebagai pekerja pekerja kelas dua atau tiga.[46] Akan tetapi dalam prakteknya ada tujuan lain yang tidak diharapkan dari pendidikan model barat yaitu munculnya kaum elite intelektual. Dari bangku sekolah itu mereka mendapatkan berbagai pengetahuan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia dan mengenai perjuangan suatu bangsa dalam proses untuk mendapatkan kemerdekaan. Kaum intelektual ini kemudian membandingkan situasi di Hindia-Belanda yang serba terbelakang dan tertinggal dengan kemajuan dunia barat,[47] yang kelak akan melahirkan kaum nasionalis indonesia.

Kota Surabaya peranannya sangat menentukan terhadap kebangkitan nasional. Pelajar-pelajar dari berbagai macam suku bangsa menuntut ilmu di kota ini. Akibatnya perasaan senasib sependirian cepat berkembang di kalangan mereka dan pada akhirnya tumbuh perasaan sebagai satu bangsa. Pergaulan antar pelajar dari berbagai suku bangsa tersebut telah memunculkan berbagai perubahan. Salah satunya dengan munculnya organisasi kedaerahan yang menunjukkan bahwa suku bangsa itu mencoba mencari identitasnya sendiri di tengah-tengah masyarakat kota.[48] Dikarenakan faktor inilah banyak bermunculan organisasi kedaerahan yang pada awalnya hanya dijadikan tempat untuk diskusi dan menyatukan pikiran atau gagasan antar anggota dalam membicarakan serta memecahkan persoalan yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Sejak didirikannya organisasi Budi Utomo (BU) pada tahun 1908 sebagai organisasi nasional pertama dan merupakan pelopor bagi gerakan kabangsaan di indonesia, menyusul kemudian pembentukan cabang-cabangnya di beberapa kota di Jawa antara lain di Surabaya. Setahun kemudian muncul organisasi yang bercorak Islam yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI) yang semula berkedudukan di Surakarta di bawah pimpinan H. Samanhudi. Namun, pada tahun 1912 namanya diubah menjadi Sarekat Islam (SI) yang berpusat di Surabaya dibawah pimpinan H.O.S. Cokroaminoto. Di samping ada organisasi dengan dasar idiologi budaya Jawa dan Islam maka juga ada organisasi dengan dasar Marxisme yang dibawa Sneevliet yang bernama Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) dengan pusatnya di Semarang.

Situasi dan kondisi pergerakan di Surabaya menjadi tempat bermunculan organisasi politik tetepi juga ada yang berorientasi pada bidang pendidikan seperti Studie Club. Pendirian Studie Club dilakukan oleh Dr. Soetomo dengan nama Indonesiche Studie Club (ISC) pada tanggal 11Juli 1924. Tujuan Stude Club ini adalah membangun kaum terpelajar supaya mempunyai kewajiban terhadap masyarakat dan memperdalam pengetahuannya tentang politik serta mengajak mereka melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi hal-hal yang berhubungan dengan masalah nasional dan sosial. [49]

Disamping sebagai pusat pergerakan partai-partai politik, Surabaya juga menjadi pusat organisasi pergerakan nasional lainnya seperti pergerakan pemuda, pergerakan wanita, pergerakan buruh dan lain-lain. Gambaran sepintas tentang pergerakan nasional di Surabaya itu maka dapat diperkirakan bahwa kegiatan kaum pergerakan sedikit banyak juga mempengaruhi para generasi muda terutama yang terlibat dalam perkumpulan Taswirul Afkar Surabaya. Menginggat keterlibatan dari kaum elitnya yang terlibat dalam berbagai organisasi yang ada di Surabaya pada saat itu.

 

 

GOLONGAN SANTRI DAN GOLONGAN NASIONALIS

DI SURABAYA

Sebelum membahas pengertian santri dan nasionalis sebagai golongan sosio-religius, hendaknya kita lebih dahulu memperhatikan hubungan yang lebih mendasar antara agama dan masyarakat. Sudah diterima oleh umum bahwa setiap masyarakat terbentuk  dari  sejumlah satuan yang lebih kecil dan mencakup lebih banyak hal. Ada beberapa diantara satuan-satuan tersebut yang terbentuk dari para anggota yang berkerabat satu dengan yang lain, apakah karena darah atau karena perkawinan. Sebenarnya banyak faktor yang sangat menentukan hubungan antara anggota-anggota sebuah keluarga, marga atau suku. Berbagai kegiatan diantara para anggota itu dapat menambah kekuatan dan keterpaduan satuan-satuan masyarakat itu. Beberapa macam kegiatan dan kepentingan bersama tentu dapat lebih erat memadukan para anggota satu kelompok. Diantara ikatan yang akan menambah keterpaduan sosial bagi satu kelompok adalah agama.[50]

Keberadaan satuan atau golongan sosio-religius, seperti santri atau nasionalis, disebabkan dan didasarkan pada sikap religius para anggotanya. Keterpaduan golongan ini ditambah dan diperkuat oleh pengalaman religius yang mendorong himpunan itu. Dalam hal ini satu sikap golongan yang diungkapkan dalam sebuah satuan sosial ditentukan oleh dua faktor; pertama, peranan tradisi yang berubah dan berkembang sesuai dengan zaman; kedua, penghayatan sesuatu yang suci sebagai dasar untuk sikap religius, apakah secara perorangan atau secara bersama.[51]

Bukan mustahil bahwa suatu suku, seperti suku Jawa, terbagi dalam beberapa golongan dengan upacara agama yang berbeda. Dimana pembagian tersebut memperlihatkan asas yang berbeda serta kesertaan religius kepada semacam kepemimpinan yang berlainan, terbuktilah keberadaan satu tipe golongan sosio-religius tertentu.[52] Dalam pengelompokan ini, golongan santri dan nasionalis akan dibahas dalam bab ini.

 

A.     SANTRI

Istilah santri yang mula-mula dan biasanya memang dipakai untuk menyebut murid yang mengikuti pendidikan Islam, merupakan perubahan bentuk terhadap kata India shastri, yang berarti orang-orang yang tahu kitab-kitab suci (Hindu),[53] seorang ulama. Adapun kata shastri diturunkan dari kata shastra yang berarti kitab suci, atau karya keagamaan atau ilmiah[54]. Prof. A.H. John berpendapat bahwa istilah santi berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. C.C Berg berpendapat bahwa istilah santri berasal dari istilah shastri (bahasa India) yang berarti orang yang tahu buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Ini didasarkan pada kata sasthra, berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku tentang ilmu pengetahuan.[55] Namun Martin van Bruinesen memberi catatan bahwa banyaknya penyebutan pesantren pada masa awal sebetulnya hanya merupakan dari pengamatan akhir abad XIX. Dalam hubungan ini, kata Jawa pesantren, yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran -an, berarti pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa muslim sebagai model sekolah agama Islam di Jawa. Guru pesantren disebut kiyai, yaitu orang tua terhormat atau guru agama yang mandiri dan berwibawa.

Satu istilah lain untuk santri sebagaimana lazimnya digunakan oleh orang Jawa ialah kata putihan, yang diturunkan dari pangkal kata putih dengan akhiran–an. Istilah ini agaknya dipakai karena pakaian putih yang mereka kenakan waktu sholat. Para putihan biasanya memakai kopiyah terbuat dari beludru hitam berupa fez, sehelai kemeja putih dan sarung (terutama bila mereka ikut bersholat dalam masjid). Setelah mereka naik haji ke Mekah, dan setelah menjadi kaji (haji), mereka tukarkan kopyah tadi dengan peci katun putih atau kopyah kaji.

Tidak bisa dipungkiri bahwa penyebutan  santri  sebagai suatu unit analisis sosial sangat dipengaruhi oleh publikasi penelitian Clifford Geertz tentang komunitas Islam di suatu kota yang ia sebut dengan Mojokuto. Publikasi ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan titel Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa,[56] dari judul aslinya The Religion of Java. Riset yang dilakukan selama enam tahun (1953-1959) di kota Pare Kediri ini memang tergolong paling awal dalam membuat klasifikasi santri sebagai suatu unit sosio-kultural yang tumbuh di tengah masyarakat Jawa. Setelah Geertz peneliti-peneliti lain banyak yang mengikuti jejak Geertz menjadi “santri” sebagai suatu unit analisis tersendiri di tengah masyarakat Muslim.

Sebelumnya, istilah santri ini lebih populer disematkan kepada para pelajar Muslim yang menempuh pendidikan di pesantren. Di pesantren mereka secara khusus ditempa untuk menjadi ahli-ahli agama. Saat mereka berhasil menyelesaikan pendidikannya dan mendirikan kembali pesantren atau mengajarkannya kembali kepada masyarakat luas, sebutan untuk mereka berubah menjadi “kyai”.[57] Alhasil istilah santri pada mulanya digunakan untuk membedakannya dengan kyai di suatu pesantren atau pusat pengajaran agama tradisional masyarakat Jawa.

Istilah santri kemudian oleh Geertz digunakan untuk menamai suatu kategori sosio-kultural dalam masyarakat muslim. Ia kemudian menyandingkannya dengan kategori lain, yaitu abangan dan priyayi. Sosiolog Indonesia seperti Harsya W. Bachtiar dan Parsudi Suparlan sejak awal sudah mengkritik kategorisasi yang dilakukan Geertz, terutama membedakan antara abangan dengan priyayi dan santri dengan priyayi berdasarkan kategori keagamaan. Kategorisasi ini tidak tepat mengingat kelompok priyayi bukanlah kategori kelompok berdasarkan kriteria keagamaan. Priyayi adalah kategori sosial yang didasarkan pada garis keturunan. Menyandingkannya dengan abangan dan santri dalam satu garis kategoris tidak pada tempatnya.[58]

Walapun secara analisis kategorisasi yang dilakukan Geertz memiliki kelemahan mendasar, namun peristilahannya untuk kelompok santri yang disandingkan dengan kelompok abangan masih banyak dijadikan basis kategoris untuk memotret perilaku umat Islam, baik secara sosiologis, politis, maupun antropologis. Siapa yang disebut santri oleh Geertz? Berikut sedikit dipaparkan kategori Geertz tentang kelompok santri ini dengan membedakannya dari kelompok abangan.

Menurut Geertz ada dua perbedaan pokok kelompok santri dengan kelompok abangan; pertama berkenaan dengan doktrin pokok Islam (Al-Quran dan hadis) dan kedua berkenaan dengan persepsi tentang organisasi sosial (dalam konteks apa mereka menempatkan diri). Dalam hal pertama, bagi kelompok santri doktrin ajaran Islam adalah pegangan pokok yang harus mereka jalankan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sementara itu, kelompok abangan tidak terlalu mempedulikan doktrin agama. Perhatian mereka bukan pada doktrin melainkan pada adat kebiasaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu, mereka akan sangat memperhatikan upacara-upacara seperti slametan untuk memperingati momen-momen khusus seperti kematian dan sebagainya tanpa mempedulikan apakah itu merupakan bagian dari (atau sekurang-kurangnya dibenarkan oleh) doktrin ajaran Islam. Bagi kelompok santri, ritual apapun yang mereka kerjaan harus memiliki presedennya di dalam doktrin ajaran Islam. Bila tidak, mereka akan menganggapnya sebagai perbuatan menyimpang (bid’ah).

Mengenai persepsi tentang organisasi sosial, bagi kelompok abangan yang menjadi pusat dalam kehidupan mereka pertama kali adalah keluarganya kemudian meluas kepada masyarakat. Jadi, mereka memposisikan diri mereka sebagai bagian dari “keluarga” yang mewariskan tradisi secara turun-temurun. Keberadaan masyarakat hanyalah penjumlahan dari keluarga-keluarga. Oleh sebab itu, penghormatan mereka terhadap leluhur begitu tinggi. Sementara itu, bagi kelompok santri organisasi sosial yang mereka persepsikan bukan diasaskan pada ikatan “keluarga,” melainkan pada ikatan “iman” yang membentuk suatu perkauman (Islam). Sebagai individu muslim, ia merupakan bagian dari umat Islam di mana pun mereka berada. Ikatan ini lebih penting dari pada ikatan pada keluarga atau leluhur. Sentimen inilah yang melahirkan solidaritas khas atas dasar “iman”.[59]

Secara lebih singkat dapat diambil kesimpulan bahwa kelompok santri adalah mereka yang menjalankan ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin Islam secara lebih ketat dan taat. Sementara itu, kelompok abangan tidak terlalu mempedulikan masalah-masalah doktrinal di dalam Islam, sekalipun mereka secara nominal muslim, dan mereka lebih berorientasi pada tradisi. Pada Pemilu 1955, secara kasar dapat dilihat bahwa kelompok santri inilah yang menjadi pendukung setia partai-partai Islam seperti Masyumi dan NU. Sementara kelompok abangan berkembang menjadi pendukung berbagai partai yang berhaluan nasionalis, bahkan komunis.

a.        Lahirnya  Rasa Nasionalisme Kaum Santri di Surabaya

 

Kebijakan politik yang diterapkan oleh pemerintah kolonial terhadap umat Islam diarahkan untuk memperkuat hegemoni kolonial. Kelestarian penjajahan, betapapun merupakan impian politik pemerintah kolonial di Indonesia. Sejalan dengan pola ini, maka kebijaksanaan di bidang pendidikan menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan modern Barat[60] diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia.[61]

Berbagai kebijakan kolonial terhadap umat Islam  sebelumnya bersifat berlebihan dan cenderung belum mempunyai kebijakan yang pasti, Hal itu karena kurangnya pengetahuan yang tepat mengenai Islam, sehingga pada mulanya pemerintah kolonial tidak berani mencampuri urusan agama ini secara langsung. Sikap mereka terhadap Islam merupakan kombinasi kontradiktif antara rasa takut dan harapan yang berlebihan. Disatu sisi  pemerintah kolonial sangat khawatir terhadap timbulnya pemberontakan orang-orang Islam fanatik, sementara disisi lain mereka sangat optimis bahwa keberhasilan Kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan.[62]

Untuk itu maka berbagai kebijakan pemerintah kolonial terhadap umat Islam khususnya dalam bidang pendidikan Islam cenderung diskriminatif dan didasari oleh ketakutan yang berlebihan terhadap ancaman kekuatan Islam. Hal itu sebenarnya dimaksudkan untuk membatasi gerak pendidikan Islam tersebut agar sejalan dengan kepentingan mereka sendiri terhadap kelestarian penjajahan di Indonesia. Mereka melihat Islam sebagai kekuatan dari bawah yang sewaktu-waktu bisa mengancam eksistensi mereka di Indonesia. Islam seringkali menjadi motivator terhadap gerak pribumi yang bertentangan dengan kebijakan pemerintahan kolonial Belanda Kajian-kajian historis menunjukkan bahwa sampai akhir abad XIX, pendidikan Islam dalam bentuk surau atau langgar dan pesantren masih menjadi lembaga pendidikan yang dominan dalam sistem pendidikan pribumi. Perkembangan pendidikan Islam mulai mengalami pergeseran sebagai reaksi internal terhadap kebijakan kolonial Belanda dalam bidang pendidikan.

Sekitar tahun 1865, masyarakat pribumi khususnya di Jawa disediakan model pendidikan yang dirancang berdasarkan  kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Kebijakan ini pada awalnya untuk mempersiapkan kalangan pribumi untuk menjadi pegawai gubernemen pada pemerintahan kolonial di Indonesia. Pola pendidikan yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda untuk kepentingan ini sama sekali bukan merupakan suatu penyesuaian terhadap sistem pendidikan Islam pada masa itu, melainkan lebih menyerupai sekolah-sekolah  yang berkembang di wilayah Minahasa dan Maluku.[63] Pemerintah kolonial memulai mendirikan sekolah-sekolah khusus pribumi yang modelnya berlainan dengan sistem pendidikan Islam yang selama ini telah berkembang lama di Indonesia.

Pemerintah kolonial Belanda berpandangan bahwa sistem pendidikan Islam yang telah mengakar dalam masyarakat Indonesia dinilai kurang baik dan tidak menguntungkan terhadap kepentingan politik  mereka. Pandangan tersebut didasari persepsi bahwa sistem pendidikan Islam tersebut akan merangsang semangat perlawanan rakyat pribumi yang telah kuat jiwa keislamannya terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Pembentukan sistem pendidikan umum akhirnya terealisasi antara lain dengan berdirinya Sekolah Desa, sebuah lembaga pendidikan sederhana yang membuka jalan kearah terwujudnya pendidikan umum. Disamping itu pemerintah kemudian juga melibatkan sekolah-sekolah zending yang secara sosio-kultural dapat dengan mudah beradaptasi dengan gagasan pemeritah koloial tersebut. Sedangkan sekolah-sekolah Islam  semakin mengambil jarak dengan sistem pendidikan umum tersebut dan tetap berpegang pada tradisinya sendiri. Pendidikan Islam mulai mengembangkan satu model pendidikan sendiri dan terpisah dari sistem pendidikan Belanda.[64]

Usaha pemerintah Hindia–Belanda tersebut mengalami kesulitan besar karena sekolah–sekolah itu ternyata hanya dinikmati oleh  lapisan tipis kalangan atas. Di samping itu, ada keberatan dilingkungan beberapa pemimpin Islam yang tidak setuju diadakannya sekolah bagi wanita.[65] Begitu juga pernyataan dari beberapa ulama Indonesia yang menyatakan bahwa memasuki sekolah–sekolah pemerintah Belanda adalah haram atau sekurang–kurangnya menyalahi ajaran Islam, sehingga sanggat berpengaruh terhadap cara pandang kaum santri di Indonesia.

Adanya beberapa keberatan dari sebagian besar elit santri itu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, adanya setigma yang memandang bahwa pemerintah Hindia–Belanda identik dengan kekristenan. Pendidikan yang didirikan pemerintah–bagi kalangan Muslim-dianggap sebagai bagian kristenisasi. Kedua, didasarkan pada fenomena yang ditmbulkan oleh usaha pemerintah Hindia–Belanda untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh Islam melalui pendidikan yang bersifat sekuler karena pendidikan agama tidak termasuk bagian dari pendidikan yang didirikan pemerintah tersebut. Ketiga, adanya diskriminasi dalam memperoleh pendidikan dimana pendidikan yang didirikan Belanda hanya ditujkan mendidik anak-anak priyayi. Keempat, tujuan pendidikan pemerintah Hindia Belanda tersebut hanya untuk menghasilkan juru tulis tingkat rendah dan pemegang buku serta para pegawai yang dapat membantu majikan-majikan Belanda dalam tugas mereka di bidang perdagangan, teknik, dan administrasi.[66]

Oleh karena itu menjelang awal abad XX di Hindia Belanda mulai bermunculan lembaga-lembaga pendidikan Islam, yang notabenenya sebagai wujud rasa nasionalisme dari kaum santri, tak luput juga kota Surabaya yang pada saat itu merupakan salah satu kota yang penting di Hinda Belanda. Mengenai hal ini terdapat beberapa hal yang melatar belakangi tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan ini.

Pertama, Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat dari penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Hal ini di tandai dengan munculnya Budi Utomo pada tahun 1908, gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawaban atas brbagai permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini pada saat itu maka bermunculan pula gerkan kebangkitan kembali agama yang menampakkan diri dalam bentuk sekolah-sekolah dan perkumpulan tarekat di banyak tempat di seluruh Jawa dan luar Jawa,[67] tak luput juga kota Surabaya yang pada saat itu merupakan pusat dari pergerakan di Hindia Belanda.

Kedua, bagi Negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, abad ke XX dapat dikatakan sebagai Abad Nasionalisme, artinya sejak awal sampai penutupan abad ini timbul kesadaran berbangsa.[68] Dalam kurun waktu ini, dalam sejarahya, telah terjadi pertumbuhan kesadaran berbangsa serta gerakan nasionalis di beberapa Negara untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya masing-masing.[69] Peta pemikiran dan pergerakan nasionalisme maupun Islam bisa dilihat dari kebangkitan nasionalisme dan Islam di Indonesia pada awal abad XX ini. Bangkitnya pergerakan di Indonesia ditandai dengan perubahan kesadaran politik berbangsa. Di era mulai bangkitnya perjuangan dan pergerakan modern tersebut, Surabaya telah menyaksikan tumbuhnya pemikiran politik yang penuh gairah, semangat dan elan pergerakan,[70] dengan adanya SI dibwah kepemimpinan H.O.S. Cokroamonoto dan kelompok diskusi (Taswirul Afkar) yang dipelopori oleh Wahab Chasbullah dan Mas Mansur, yang nantinya dari sana timbul sebuah gagasan untuk mendirikan madrasah (Nadlatul Wathan) yang salah satunya ditujukan untuk menanamkan rasa nasionalisme. Tema tersebut tidak dapat dipisahkan dari situasi umum dunia Islam yang pada abad ke XIX dank e XX memang berada dalam kekuasaan bangsa-bangsa Eropa.

Ketiga, kesadaran dan bangkitnya rasa nasionalisme pada golongan santri di Surabaya (Indonesia) juga dipengaruhi oleh gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah.

Seperti yang dikatakan oleh Lathorp Stoddard, jika di masa lalu semangat nasionalisme bangsa Indonesia masih tertidur nyenyak, maka dengan berdirinya SI dengan tokoh utamanya H.O.S Tjokroaminoto, jiwa nasionalisme mulai berkobar-kobar. Di mana-mana tumbuh berbagai organisasi kebangsaan maupun keagamaan yang maksud dan tujuannya untuk melepaskan belenggu penjajah yang telah berhasil mencengkram tanah Indonesia selama hampir tiga setengah abad lamanya.[71]

b.        Afiliasi Politik Kaum Santri

Tumbuhnya semangat nasionalisme dan pembaruan Islam dan dunia Islam juga telah menyadarkan kaum santri akan pentingnya organisasi politik. Salah satu organisasi politik modern yang muncul ketika itu adalah Sarekat Islam (SI). SI merupakan metamorphosis dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan di Surakarta (Solo) pada 1911 oleh seorang pedagang Muslim, Haji Samanhudi. Perubahan nama dari SDI ke SI menjadikan organisasi ini mempunyai prubahan orientasi: dari komersial ke politik. Organisasi ini muncul paling tidak disebabkan oleh dua hal. Pertama, daya dorong ekonomi di balik kegiatan-kegiatan organisasi ini yang berasal dari persaingan perdagangan dengan orang-orang China yang tidak terkekang oleh kontrol-kontol yang tidak dibatasi oleh pemerintah kolonial. Kedua, aktifitas-aktifitas keagamaan dalam organisasi ini, sebagian telah dipacu oleh kegiatan-kegiatan misionaris Kristen yang semakin meningkat sejak tahun 1910.[72]

Pada tahun-tahun pertama perkembangannya, SI menempatkan dirinya pada posisi “tengah”, yaitu dengan menampilkan diri secara penuh kepada rakyat Indonesia.[73] Dengan posisi semacam itu, SI mendapat dukungan dan simpati dari semua kelas, baik di kota maupun di desa. Para pedagang dari kalangan santri, para buruh di kota-kota, kiai dan ulama, bahkan juga kalangan priyayi-tetapi di atas segala-galanya para petani-bergabung ke dalam gerakan politik berbasis massa ini. Beberapa aspek perjuangan terkumpul menjadi satu di dalam tubuh SI sehingga ada yang menamakan bahwa SI merupakan “gerakan-nasionalis-demokratis-ekonomis”.[74]

Dalam waktu kurang dari satu dasawarsa, SI berkembang dari basis Jawa Tengah menjadi gerakan masa majemuk. Keberhasilan SI kala itu adalah kemampuannya dalam mengakumulasi massa dalam jumlah yang besar, memberikan pendidikan politik rakyat serta memberikan jawaban terhadap mitos Ratu Adil yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Di dalam tubuh SI, terkumpul tiga aliran: Islam fanatik, Islam demokratis, Islam militant. Selama beberapa tahun, SI brfungsi sebagai barometer yang mencatat ketidak puasan yang kian memuncak yang terdapat dikalangan penduduk pedesaan pulau Jawa sebagai perubahan ekonomi dan politik. Isu agama (Islam) yang melekat dalam dalam diri SI merupakan salah satu faktor besarnya jumlah anggota organisasi ini.[75]

Pada sekitar tahun 1914 seorang pemuda Wahab Chasbullah sekembali menuntut ilmu di Mekah, ia mulai berkecimpung dalam tubuh SI di Surabaya. Memang sebelumnya ia adalah pengurus SI cabang Mekah bahkan, sebenarnya Dialah pengagas berdirinya cabang SI di Mekah. Pada awal-awal berdirinya, SI merupakan satu-satunya organisai politik myang berbasis Islam di Indonesia. Maka tidak heran jika kemudian banyak dari kaum santri dalam afiliasi politiknya cenderung ke organisasi ini. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yakni, pertama,  kuatnya penetrasi dari pemerintah Hindia Belanda terhadap umat Islam teutama setelah terjadinya pemberontakan di berbagai daerah yang di pelopori oleh tokoh Islam setempat dan hal ini diikuti dengan kegiatan misionaris yang begitu gencarnya sejak tahun 1910. Sehingga rasanya perlu bagi golongan santri untuk bergabung kedalam SI guna mengcounter gerakan tersebut. Kedua, SI kalau bisa dikatakan merupakan satu-satunya organisasi yang bergerak di bidang politik pada saat itu, sehingga rasaanya tidak heran jika SI dijadikan sebagai wadah bagi golongan santri dalm mengaspirasikan politiknya. Dan yang ketiga, adalah alasan ekonomi yakni adanya semacam keterancaman dari golongan santri terhadap peran ekonomi yang dimainkan oleh orang-orang China.

 

B.     GERAKAN NASIONALISME DAN KAUM NASIONALIS DI SURABAYA

a.        Pengertian Nasionalisme

Secara etimologis, term nasionalisme, natie, dan national kesemuanya berasal dari bahasa Latin, yakni natio, yang berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran. Kata natio ini berasal dari kata nascie yang berarti dilahirkan. Karena itu, jika dapat dihubungkan secara objektif maka yang paling lazim dikemukakan adalah bahasa, ras, agama, peradaban, wilayah, negara dan kewarganegaraan.[76]

Nasionalisme sendiri mengandung makna ”suatu sikap mental di mana loyalitas tertinggi dari individu adalah untuk negara-bangsa”;[77] atau sikap politik dan sosial dari kelompok-kelompok suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudyaan, bahasa, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dan dengan demikian merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa.[78]

Dalam konteks ini, kata kunci dalam nasionalisme adalah supreme loyality terhadap kelompok bangsa. Kesetiaan itu muncul karena adanya kesadaran akan identitas kolektif yang berbeda dengan yang lain. Hal yang palin penting dalam munculnya rasa nasionalisme adalah adanya kemauan untuk bersatu. Oleh karena itu, bangsa merupakan konsep yang selalu berubah, tidak setatis, dan juga tidak given, sejalan dengan dinamika kekuatan-kekuatan yang melahirkannya. Nasionalisme tidak selamanya tumbuh dalam masyarakat multi ras, bahasa, budaya, dan bahkan multi agama. Amerika dan Singapura, misalnya, adalah bangsa yang multi ras; Switzerland adalah bangsa dengan multi bahasa; dan Indonesia yang sangat fenomenal adalah bangsa yang merupakan integrasi dari berbagai suku yang mempunyai aneka bahasa, budaya dan juga agama.[79]

Kata bangsa mempunyai dua pengertian: pengertian antropologis-sosiologis dan pengertian politis. Menurut pengertian antropologis-sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan persekutuan-hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota masyarakat tersebut merasa satu kesatuan suku, bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadat. Pengertian ini memungkinkan adanya beberapa bangsa dalam sebuah negara dan—sebaliknya—satu bangsa tersebar pada lebih dari satu negara. Kasus pertama terjadi pada negara yang memiliki beragam suku bangsa, seperti Amerika Serikat yang menaungi beragam bangsa yang berbeda. Kasus kedua adalah sebagaimana yang terjadi pada bangsa Korea yang terpecah menjadi dua negara, Korea Utara dan Korea Selatan. Sementara dalam pengertian politis, bangsa adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Bangsa (nation) dalam pengertian politis inilah yang kemudian menjadi pokok pembahasan nasionalisme.[80]

Istilah nasionalisme yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan menngabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu. Dengan demikian, nasionalisme berarti menyatakan keunggulan suatu afinitas kelompok yang didasarkan atas kesamaan bahasa, budaya, dan wilayah. Istilah nasionalis dan nasional, yang berasal dari bahasa Latin yang berarti “lahir di”, kadangkala tumpang tindih dengan istilah yang berasal dari bahasa Yunani, etnik. Namun istilah yang disebut terakhir ini biasanya digunakan untuk menunjuk kepada kultur, bahasa, dan keturunan di luar konteks politik.[81]

Secara historis, semangat nasionalisme Indonesia sudah mulai terasa sejak berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908, sebagai organisasi yang disusun secara moderen. Setelah itu, muncul SI tahun 1912 yang pengaruhnya lebih besar dari Budi Utomo. Pada tahun yang sama juga berdiri partai yang berjiwa nasionalisme moderen, yaitu Indiche Partij yang didirikan oleh E.F.E. Dowes Deker, seorang Indo keturunan Belanda. Akan tetapi, partai ini tidak mendapatkan sambutan yang signifikan dari rakyat Indonesia.

Di samping organisasi politik di atas, lahirpula organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyah di Yogyakarta pada 18 November 1912. Kemudian menyusul Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926 di Surabaya. Organisasi ini lahir sebagai respon atas maraknya semangat nasionalisme Indonesia. Dari kelompok Katolik juga lahir Indiche Katholike Partij (IKP) pada November 1918, yang bertujuan memajukan bangsa berdasarkan agama Katolik. Pada September 1917, lahir pula Christelijke Ethische Partij (CEP), yang bertujuan menjadikan agama Kristen sebagai dasar dalam menyusun negara. Organisasi ini juga bertujuan memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.[82]

Jika melihat lahirnya beraneka ragam organisasi di atas maka dapat dikatakan bahwa nasionalisme Indonesia tumbuh dari perasaan senasib dan sependeritaan akibat penjajahan. Walaupun mereka terdiri dari suku, agama dan ras yang majemuk mereka merasa satubangsa sehingga masing-masing kelompok selalu berusaha membebaskan dirinya dari penderitaan tersebut. Tujuan pokok dari berdirinya bermacam-macam organisasi Pergerakan Nasional ini didorong oleh adanya cita-cita mewujudkan masa depan yang lebih baik.

b.        Kemunculan Golongan Terpelajar di Surabaya sebagai Benih Bagi Kaum Nasionalis

Pada awal abad XX ketika pemerintah Kolonial Hindia Belanda menerapkan kebijakan politik etis di kota-kota besar, Surabaya sebagai salah satu kota besar mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Kota Surabaya sebagai pusat kegiatan transaksi perdagangan, pusat pendidikan, pusat kekuatan armada Belanda, juga membawa pengaruh yang besar sekali pada pertumbuhan pergerakan nasional di Hindia Belanda pada saat itu.

Seiring dengan tingkat perkembangan dalam bidang pendidikan yang merupakan hasil dari kebijakan Politik Etis ini maka golongan cerdik pandai di Surabaya mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup signifikn. Golongan cerdik pandai ini merupakan lapisan masyarakat yang sadar akan dirinya dan menyadari keadaan yang terbelakang dari masyarakatnya. Lapisan intrlektual ini, setelah tingkat kesadarannya memadai, kemudian mulai bangkit menjadi kekuatan sosial baru, yang berjuang untuk memperbaiki nasib dari bangsanya. Gerakan yang dilakukan oleh para cendikiawan ini kemudian disebut pergerakan nasional. Mereka merupakan pelopor pergerakan nasional yang paling aktif pada awal kemunculannya.

Golongan terpelajar dalam masyarakat Hindia Belanda saat itu termasuk dalam kelompok elite sebab masih sedikit penduduk pribumi yang dapat memperoleh pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan merupakan sebuah kesempatan yang istimewa bagi rakyat Hindia. Mereka memperoleh pendidikan melalui sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial yang dirasa memiliki kualitas baik. Dengan pendidikan model barat yang mereka miliki, golongan terpelajar dipandang sebagai orang yang memiliki pandangan yang luas sehingga tidak sekedar dikenal saja tetapi mereka dianggap memiliki kepekaan yang tinggi. Sebab selain memperoleh pelajaran di kelas mereka akan membentuk kelompok kecil untuk saling bertukar ide menyatakan pemikiran mereka mengenai negara Indonesia melalui diskusi bersama. Meskipun mereka berasal dari daerah yang berbeda tetapi mereka merasa senasip sepenanggunagan untuk mengatasi bersama adanya penjajahan, kapitalisme, kemerosotan moral, peneterasi budaya, dan kemiskinan rakyat Indonesia. Hingga akhirnya mereka membentuk perkumpulan yang selanjutnya menjadi Oragnisasi Pergerakan Nasional. Mereka membentu organisasi-organisasi modern yang berwawasan nasional. Mereka berusaha menanamkan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa, menanamkan rasa nasionalisme, menanamkan semangat untuk memprioritaskan segalanya demi kepentingan nasional daripada kepentingan pribadi melalui organisadi tersebut. Selanjutnya melalui organisasi pergerakan nasional tersebut mereka melakukan gerakan untuk melawan penjajahan yang selanjutnya membawa Indonesia pada kemerdekaan.

Pada mulanya, pemerintah kolonial memandang pendidikan semata-mata hanya untuk memenuhi kepentingan pemerintah kolonial sendiri. Tetapi, di kemudian hari kaum terdidik atau kaum intlektual ini merupakan senjata makan tuan, karena dari kaum inilah rasa nasionalis mulai bersemi dikalangan penduduk pribumi dan merekalah yang menjadi pelopor dari Kebangkitan Nasionalisme di Indonesia.

Dari sektor pendidikan muncul kelas baru golongan berpendidikan, yang meskipun sebagian masuk dalam birokrasi dan karena itu menjadi priyayi, tetapi mereka menunjukkan semangat baru sebagai sebuah kelas yang mencari tempat dalam masyarakat. Pertemuan antara golongan kelas lama pribumi, golongan terpelajar, dan golongan pekerja di kota-kota menjadi tumpuan bagi timbulnya gerakan nasional. Dapat dikatakan bahwa pergerakan nasional adalah hasil budaya kota itu, yaitu ketika kelas-kelas baru memerlukan idiologi baru yang membenarkan kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat tradisional dan kolonial.

Sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda mempunyai tujuan memenuhi keperluan tenaga buruh untuk kepentingan kaum modal Belanda. Ada yang sebagian dilatih dan didik untuk menjadi tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan lain-lainnya yang diangkat sebagai pekerja-pekerja kelas dua atau tiga.[83] Akan tetapi dalam prakteknya ada tujuan lain yang tidak diharapkan dari hasil pendidikan model barat yaitu munculnya kaum elite intelektual. Dari bangku sekolah itu mereka mendapatkan berbagai pengetahuan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia dan mengenai perjuangan suatu bangsa dalam proses untuk mendapatkan kemerdekaan. Kaum elite intelektual ini kemudian membandingkan situasi di Hindia Belanda yang serba terbelakang dengan kemajuan dunia Barat,[84] dan dari sinilah nantinya mulai bermunculan kaum nasionalis baru di Hindia Belanda.

Kota Surabaya peranannya sangat menentukan terhadap kebangkitan nasional. Pelajar-pelajar dari berbagai macam suku bangsa banyak yang menuntut ilmu di kota ini. Akibatnya, perasaan senasib sependirian cepat berkembang di kalangan mereka dan pada akhirnya tumbuh perasaan sebagai satu bangsa. Pergaulan antar pelajar dari berbagai suku bangsa tersebut telah memunculkan berbagai perubahan. Salah satunya dengan munculnya organisasi kedaerahan yang menunjukkan bahwa suku bangsa itu mencoba mencari identitasnya sendiri di tengah-tengah masyarakat kota.[85] Dikarenakan faktor inilah kemudian mulai banyak bermunculan organisasi kedaerahan yang pada awalnya hanya dijadikan tempat untuk diskusi dan menyatukan pikiran atau gagasan antar anggota dalam membicarakan serta memecahkan persoalan yang sedang mereka hadapi yang sifatnya kekinian pada saat itu.

Sejak didirikannya organisasi Budi Utomo (BU) pada tahun 1908 sebagai organisasi nasional pertama dan merupakan pelopor bagi gerakan kebangsaan di Indonesia, menyusul kemudian pembentukan cabang-cabangnya di beberapa kota di Jawa antara lain di Surabaya. Setahun kemudian muncul organisasi yang bercorak Islam yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI) yang semula berkedudukan di Surakarta di bawah pimpinan H. Samanhudi pada tahun 1912 diubah menjadi Sarekat Islam (SI) yang berpusat di Surabaya di bawah pimpinan H.O.S Cokroaminoto. Disamping ada organisasi dengan dasar idiologi budaya Jawa dan Islam maka juga ada organisasi dengan dasar Marxisme yang dibawa Sneevlit yang bernama Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) dengan pusatnya di Semarang.

Situasi dan kondisi pergerakan di Surabaya menjadi tempat bermunculan organisasi politik tetapi juga ada yang beroientasi pada bidang politik Studie Club. Pendirian Studie Club dilakukan oleh Dr. Soetomo dengan nama Indonesische Studie Club (ISC) pada tanggal 11Juli 1924. Tujuan Studie Club ini adalah membangun kaum terpelajar supaya mempunyai keweajiban terhadap masyarakat dan memperdalam pengetahuannya tentang politik serta mengajak mereka melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi hal-hal yang berhubungan dengan masalah nasional dan sosial.[86]

Di samping sebagai pusat pergerakan partai-partai politik, Surabaya juga menjadi pusaran organisasi pergerakan nasional lainnya seperti pergerakan pemuda pergerakan wanita, pergerakan buruh dan lain-lain. Gambaran sepintas tentang pergerakan nasional di Surabaya itu maka dapat diperkirakan bahwa kegiatan kaum pergerakan sedikit banyak juga mempengaruhi para generasi muda. Hal ini juga dapat kita kita lihat dari gairah yang di tunjukkan oleh kaum santri dalam usahanya untuk mewarnai pegerakan yang ada di Surabaya, hal ini ditunjukkan dengan munculnya kelompok diskusi Taswirul-Afkar tahun 1914 yang dipelopori oleh Kiai Wahab Chasbulah dan Kiai Mas Mansur dan kemudian di susul dengan di dirikannya Madrasah Nahdlatul Wathan buah dari pergumulan kedua ulama muda ini dengan kaum pergerakan yang ada di Surabaya. Di lihat dari namanya yakni mencantumkan kata Wathan yang artinya Tanah Air pada kata yang mengikuti Nahdlatul dari madrasah yang mereka dirikan menunjukkan betapa kuatnya rasa cinta tanah air pada kedua tokoh sentral ini. Tidak cukup sampai di situ saja dalam perkembangan selanjutnya mereka juga mendirikan madrasah di berbagai daerah. Misalnya, Ahlul Wathan di Wonokromo, Khitabul Wathan di Pacarkeling, Hidayatul Wathan di Jagalan (Surabaya). Kemudian Far’ul Wathan (Gersik), Hidayatul Wathan (Jombang), dan Akhul Wathan (Semarang),[87] yang tak lupa mencantumkan kata Wathan (tanah air). Dari sini tampak tersirat bahwa wawasan kebangsaan dari pendirinya yakni perasaan untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa. Dan itu berarti, tujuan didirikannya madrasah itu tak lain ialah untuk mempertahankan tanah air dari belenggu penjajah.

 

 

 

SEJARAH DAN LATAR BELAKANG BERIDIRINYA

TASWIRUL AFKAR SURABAYA

(RELASI SANTRI – NASIONALIS)

 

A.  LATAR BELAKANG BERDIRINYA TASWIRUL AFKAR

Sepanjang dekade abad XIX Indonesia mendapat efek dari sistem kapital yang diterapkan oleh negara-negara Barat yakni kemerosotan ekonomi (inflasi) atau yang lebih dikenal zaman malaise. Guna menunjang kebutuhan dalam negerinya pemerintah kolonial menerapkan politik tanam paksa, yakni menanam tanaman yang laku di pasaran internasional. Setelah itu disusul para pemodal besar guna mengembangkan usahanya memasukkan barang-barang hasil industri produksi Belanda ke Indonesia dan sekaligus menanamkan modal mereka dengan membuka perkebunan besar untuk diekspor hasilnya ke luar negeri.[88] Kebijakan ini diikuti dengan mekanisme politik yang otoriter dengan mengontrol sejumlah besar elit priyayi dan pamong praja sebagai perisai pengaman yang tangguh atas kebijaksanaan itu. Akibat dari kebijakan ini timbul alienasi kelas priyayi dan kelas petani yang cukup tajam. Kebijaksanaan itu kemudian diikuti dengan liberalisasi ekonomi dan kelonggaran impor barang konsumtif yang menimbulkan kemerosotan ekonomi di kalangan petani dan ketidak berdayaan melawan pengusaha besar.

Situasi ini membawa akibat disintegrasi dan keresahan sosial yang hampir merata di seluruh Indonesia.[89] Akibatnya terjadi berbagai pemberontakan di berbagai daerah. Walaupun pada umumnya pemberontakan-pemberontakan itu dapat dipadamkan melalui operasi militer pemerintah kolonial, namun benih ketidakpuasan para petani itu terus mengakar dan mempengaruhi rakyat pedesaan pada umumnya. Akibatnya rasa ketidakpuasan itu berubah menjadi sikap anti pemerintah asing yang kafir setelah mereka memperoleh legitimasi kepemimpinan ulama.[90] Pada umumnya ulama menurut konsep hidup keagamaan yang mereka pegang teguh tidak mungkin menerima kehadiran penjajah Belanda yang langsung atau tidak langsung membawa misi agama Kristen yang merugikan mereka, disamping kenyataan yang mereka rasakan sendiri kehadiran penjajah itu membawa akibat buruk bagi kehidupan para petani umat mereka sendiri.[91] Di sisi lain para petani membutuhkan seorang figur yang mampu dijadikan tumpuan dalam menghadapi kesulitan dan intimidasi dari pemerintah Hindia-Belanda.

Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat dari penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawaban atas berbagai permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini pada saat itu maka bermunculan pula gerakan kebangkitan kembali agama yang menampakkan diri dalam bentuk sekolah-sekolah dan perkumpulan tarekat di banyak tempat di seluruh Jawa dan luar Jawa.[92]

Perkembangan politik di Timur Tengah yang terjadi di awal abad ke XX ditandai dengan tampilnya tokoh-tokoh Islam penganut Ajaran Abdul Wahab dengan ajarannya yang terkenal Aliran Wahabi, yakni berubahnya sistem pemerintahan di Turki dari kesultanan ke sistem kerajaan di bawah pimpinan Mustafa Kemal (penganut Wahabi), dan berdiri serta berpengaruhnya pemerintahan golongan Wahabi dibawah kepemimpinan Raja Ibnu Sa’ud di Jazirah Arab dan kota Mekkah. Pada masa Raja Sa’ud ini berkuasa, ia melakukan gerakan-gerakan modernisme Islam secara radikal terhadap tatanan keagamaan dan masyarakat Islam di kawasan itu, termasuk adanya upaya-upaya melakukan perombakan terhadap kuburan empat imam (Syafi’i, Hambali, Maliki, dan Hanafi) yang terletak di sekitar Ka’bah. Selain itu reaksi para ulama penganut Ahlussunah wal Jama’ah terhadap pemerintahan kaum Wahabi saat itu, adalah karena dikhawatirkan kaum Wahabi tidak memberi kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan ibadah sesuai dengan tradisi atau ajaran salah satu dari empat mazhab.[93] Gerakan itu diwariskan oleh seseorang yang bernama Abd Al-Wahab (1073-1787), yang berupaya melakukan pemurnian ajaran Islam, karena ia menganggapnya bahwa ajaran sufisme telah menciptakan kemerosotan di kalangan umat Islam, telah menyelewengkan ajaran Islam, termasuk serangannya terhadap ajaran-ajaran dari empat imam mazhab. Menurut kalangan Wahabi banyak dari ajaran dari empat mazhab itu yang setelah ditelusuri tidak terdapat di dalam Al Qur’an dan Hadits, seperti masalah taqlid dan ijtihad, ziarah kuburan, bacaan barzanji, pemberian pelajaran bagi jenazah yang baru meninggal (talqin), soal selamatan bagi orang yang telah meninggal, dan lain-lain. Tradisi semacam itu dianggap berdampak terhadap tingkat masalah keimanan dan masalah-masalah keduniaan. Sebagai akibatnya umat Islam menjadi terbelakang, tertinggal dari kemajuan yang dicapai dunia Barat, karena penolakannya terhadap nilai-nilai modernisme.

Gerakan Wahabi dapat bertahan, berkembang dan merasuki ideologi kenegaraan, bahkan kemudian memenangkan percaturan politik di Timur Tengah, dengan tokoh penyebar misi gerakan itu yang terkenal pada akhir abad ke XIV dan awal abad ke XX adalah Muhammad Abduh. Ajaran Wahabiyah melalui tokoh tersebut cukup berpengaruh di kalangan orang-orang Indonesia yang berkesempatan belajar Islam di Timur Tengah, ditambah dengan pengaruh kemenangan golongan Wahabiyah di bawah kepemimpinan Raja Sa’ud di Arab Saudi.[94] Deliar Noer, misalnya mencatat paling tidak ada tujuh orang penyebar Islam ternama dari Sumatera Barat yang terpengaruh kuat dengan ajaran-ajaran modernisme Islam ala Wahabiyah dan Muhammad Abduh yang hidup di penghujung abad ke XIX dan pada awa abad ke XX, yaitu Syaikh Muhammad Khatib, Syaikh Taher Djalaludin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Syaikh Ibrahim Musa, dan Zainuddin Labai Al-Junusi, dimana mereka melakukan syiar Islam baik secara langsung maupun melalui pertemuan tatap muka, lembaga-lembaga pendidikan, maupun secara tidak langsung melalui tulisan mereka di dalam majalah. Sehingga di daerah itu terjadi ketegangan antara kalangan penganut penganut Islam tradisional atau kalangan pesantren dan kalangan tokoh-tokoh adat dengan kalangan pembaharu.

Sementara itu di Pulau Jawa, pada awal abad ke XX mulai pula terjadi ketegangan karena munculnya gerakan Islam pembaharu yang bisa disebut sebagai perpanjangan gerakan Wahabiyah dari Timur Tengah. Adalah organisasi Muhammadiyah, yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan, dimana ia didorong oleh kalangan murid-muridnya untuk mendirikan organisasi lembaga pendidikan permanen dalam rangka menyebarkan misi pembaruannya itu, yang merupakan organisasi yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial dalam rangka pembaruan Islam.

Pada dekade yang sama di awal abad ke XX, muncul pula organisasi-organisasi yang berorientasi politis, yaitu Budi Utomo (BU) dan Syarekat Islam (SI). Dua organisasi ini sama-sama menentang pemerintahan kolonial, hanya saja berbeda orientasi. Kalau Budi Utomo bersifat nasionalis dan menentang Belanda karena pemerintahan orang asing (penolakan terhadap orang-orang asing), maka Syarekat Islam menentang Belanda karena dianggap sebagai pemerintahan orang-orang kafir (penolakan terhadap agama yang dianut oleh para aktor pemerintahannya). Tetapi walaupun para fungsionaris kedua organisasi itu sama-sama Islam, namun mereka terdiri dari kalangan modernis atau pembaru (khususnya Budi Utomo).[95]

Sementara itu di Surabaya K,H. Abdul Wahab Hasbullah, ulama dari kalangan pesantren, membentuk majelis munazarah (forum diskusi keagamaan) yang diberi nama Taswirul Afkar pada tahun 1914.[96] Forum diskusi ini membahas masalah keagamaan dan masalah politik dalm perjuangan melawan penjajah.[97] Kehadiran kelompok diskusi Taswirul Afkar yang di prakarsai Abdul Wahab Hasbullah tersebut telah melahirkan berbagai dampak yang cukup baik bagi perkembangan intelektual  kaum santri di Surabaya. Di samping sebagai tempat bertemunya para ulama pesantren yang merasa terikat oleh faham Ahlussunnah wal Jama’ah, forum ini juga berfungsi sebagai wadah pengembangan kader ulama yang berasal dari lingkungan pesantren, berhasil dibina dalam cakrawala pemikiran yang lebih luas dan terbuka.[98]

Berdirinya Taswirul Afkar tak bisa dilepaskan dari sosok Wahab Hasbullah. Bakat kepemimpinan dan kecerdasan Wahab Hasbullah sesungguhnya sudah mulai tampak di pesantren. Di sela-sela kegiatan belajar, Wahab memimpin kelompok belajar dan diskusi santri secara rutin.[99] Dalam kelompok itu dibahas masalah sosial kemasyarakatan, di samping pelajaran agama. Tidak heran jika sepulang dari berbagai pesantren, Kyai Wahab sama sekali tidak canggung terjun ke masyarakat, mempraktikkan apa yang sudah dipelajari.

Melihat kenyataan sosial yang waktu itu sedang dalam tekanan penjajah Belanda dengan berbagai akibatnya, Kyai Wahab berpikir keras bagaimana dapat menyumbangkan pikirannya yang progresif untuk memperbaiki keadaan. Dari sinilah kemudian Kyai Wahab melakukan kontak dengan teman-teman belajarnya, baik sewaktu di pesantren maupun ketika menuntut ilmu di Tanah Suci untuk membicarakan masalah ini.[100] Akhirnya bersama Kyai Mas Mansur kawan mengaji di Mekkah, dia membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1914. Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk mendebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.

Taswirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasionalis sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Dari posnya di Surabaya, kelompok ini menjalar hampir ke seluruh kota di Jawa Timur. Bahkan gaungnya sampai ke daerah-daerah lain seluruh Jawa.[101] Tampaknya kelompok ini tidak hanya bermaksud mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan yang muncul, tetapi juga menggalang kaum intelektual dari tokoh-tokoh pergerakan. Jelas pemrakarsa kelompok ini memasukkan unsur-unsur kekuatan politik untuk menentang penjajahan. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.

Dalam perkembangan selanjutnya, forum diskusi Taswirul-Afkar ini oleh para pendirinya, Abdul Wahab dan teman-temannya, pada tahun 1916 mereka mendirikan kelompok lain yang di beri nama Nadlatul Wathan (kebangkitan tanah air).[102] Kelompok ini mermiliki program utama dalam bidang pendidikan.[103] Nahdlatul  Wathan, menyelengarakan pendidikan (pengajaran) formal berupa sekolah (madrasah) dan kursus-kursus praktis kepemimpinan (waktu itu istilahnya perjuangan), organisasi dan administrasi.[104] Dari organisasi inilah Kyai Wahab mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah Kyai M. Bisri Syansuri Jombang, Kyai Abdul Halim Leimunding, Cirebon, Kyai Haji Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma’shum dan Kyai Cholil Lasem.[105] Di kalangan pemudanya disediakan wadah Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) yang di dalamnya, antara lain ada nama Abdullah Ubaid. Dalam kelompok inilah Kyai Wahab mulai memimpin dan menggerakkan perjuangan pemikiran berdasarkan keagamaan dan nasionalisme.

Peranan Mas Mansur dan Wahab Hasbullah dalam membangkitkan kesadaran brkebangsaan tampak sejak ia aktif di di dalam SI, mereka berperan banyak dalam menebarkan benih-benih nasionalisme di kalangan kaum muda Islam serta anak didiknya yang kelak akan meneruskan perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan. Salah satu hasil dari diskusi Taswirul Afkar yang mempunyai pertalian dengan persoalan bangsa kala itu adalah gagasan berdirinya Madrasah Nahdlatul Wathan. Dari namanya saja yang berarti “Kebangkitan Tanah Air” itu terbesit betapa kuatnya semangat cinta tanah air dan kebangsaan dari kaum santri.[106] Bahkan ketika masih memimpin Madrasah itu kedua tokoh ini sempat menggubah sebuah sajak bertema patriotisme dalam bahasa Arab. Berikut adalah sajak dalam bahasa Arab tersebut:

Hai patriot bangsa, hai patriot bangsa                Cinta tanah air bagian dari iman                  Cintailah tanah air, hai patriot bangsa        Jangan kalian menjadi bangsa terjajah   Sungguh kemuliaan itu dicapai dengan tindakan Bukan dengan kata-kata                              Maka berbuatlah menggapai cita-cita             Dan jangan Cuma bicara                       Duniamu bukan tempat untuk menetap        Tapi Cuma tempat buat berlabuh                Maka berbuatlah sebagaimana Dia perintahkan   Jangan mau jadi sapi perahan                     Kalian tak tahu gerangan siapa pemutar balik  fakta                                                           Kalian tak pikirkan apa yang telah berubah      Di mana perjalanan berakhir              Bagaimana peristiwa berakhir                      Atau mereka memberi minum                       Juga kepada ternakmu                                  Atau mereka melepaskanmu dari beban Ataukah malah menengelamkanmu dalam beban                                                              Hai, pemilik pikiran yang jernih                     Hai, pemilik hati yang lembut                       Jadilah orang yang tinggi cita-cita                       Jangan jadi ternak gembala! [1]

 

Sajak Nahdlatul Wathan ini juga digubah dalam sebuah lagu dan merupakan lagu wajib bagi para murid sebelum memulai kegiatan belajarnya. Gubahan ini terus berkumandang di berbagai pelosok dengan berbagai variasi nada menggugah semangat kebangsaan kalangan santri. Hingga tahun 1940-an para santri di Pesantren Tebuireng, Jombang, masih sering menyanyikannya sebelum memulai pelajaran dengan sikap berdiri, seperti menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.[107]

Selain itu dalam Madrasah Taswirul Afkar para pendirinya juga membuat semacam Mars berbahasa Arab yang dinyanyikan oleh murid-murid madrasah tersebut sebelum mengawali pelajaran, berikut potongan dari mars tersebut:

...

Wahai anak Bangsa bangkitlah dan bersatulah

Jadilah kalian orang yang memiliki cita-cita

Di tengah-tengah kita telah hadir Taswirul Afkar

Oleh karena itu bangkitlah

Wahai saudara yang terhormat

Taswirul Akar telah di tengah-tengah kita

Terpujilah para pendiri dan pengembangnya

Sesungguhnya petunjuk dan anugrah benar-benar telah

Datang dari keagungan Dzat yang Maha Mulia dan Maha Mengetahui [108]

 

Dari mars tersebut tersirat adanya semangat nasionalime dan semangat keagamaan dari kaum santri dalam mendidik para murid di madrasah Taswirul Afkar.

B.  MUNCULNYA DIKOTOMI GOLONGAN SANTRI (TRADISIONALIS-REFORMIS) SAMPAI TERBENTUKNYA RELASI ANTARA GOLONGAN SANTRI DAN GOLONGAN NASIONALIS.

            Perdebatan antara kaum tradisionalis dengan kaum reformis menjadi semakin seru pada dekade tahun 1920-an. Dalam diskusi, termasuk dalam forum Sarekat Islam, kiai Wahab berhadapan dengan Achmad Soorkati, seorang guru agama dari Sudan, Afrika Timur, pendiri gerakan reformasi Al-Irsyad, demikian juga dengan Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.[109] Akan tetapi, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab tidak menutup diri terhadap saran pembaharuan dan menyetujui gagasan pentingnya moderenisasi sistem pendidikan, walaupun tetap menolak meninggalkan pola-pola bermadzab.[110] Usaha untuk mencari kesepakatan antara kaum tua dengan kaum muda lalu kian menjadi sulit untuk dipertemukan. Gerakan reformis yang sangat vokal dari Sumatera Barat telah masuk ke Surabaya, tempat Faqih Hasyim, seorang pedagang, murid pembaru yang sangat terkenal, Haji Rasul (Haji Karim Amrulah) dari Minangkabau, menjadi salah seorang oratornya yang paling keras dan kontroversial.[111]

            Kehebohan pertama yang secara langsung menimpa kaum tradisionalis terjadi pada tahun 1922. Kiai Haji Mas Mansur, salah seorang guru Madrarasah Nahdlatul Wathan dan juga merupakan salah seorang pengagas berdirinya Taswirul Afkar yang cukup disegani, mengajukan pengunduran dirinya untuk membangun dan memimpin gerakan reformis Muhammadiyah dikarenakan masalah khilafiyah,[112] dari sinilah sebenarnya awal mula terbentuknya dikotomi tradisionalis-reformis.

Perbedaan pandangan dengan Mas Mansur tidak menjadikan Wahab mundur dari penggalangan pemikiran di kalangan pemuda saat itu. Jiwanya yang bebas dan selalu ingin mencari penyelesaian masalah menjadikan ia terus melakukan kontak dengan tokoh-tokoh pergerakan dan tokoh keagamaan lainnya. Dengan pendiri Al-Irsyad, Syaikh Achmad Syurkati di Surabaya misalnya, Kyai Wahab tidak segan-segan melakukan diskusi mengenai masalah keagamaan. Sedangkan dengan tokoh pendiri Muhammadiyah Kyai Ahmad Dahlan, Kyai Wahab sering bertandang ke Yogyakarta untuk bertukar pikiran dengannya.[113] Ketika kaum terpelajar Surabaya mendirikan Islam Studie Club yang banyak dihadiri oleh kaum pergerakan, Kyai Wahab tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk memanfaatkan forum tersebut. Dalam forum inilah Kyai Wahab berkawan akrab dengan tokoh pergerakan seperti H.O.S Tjokroaminoto, Sundyoto  dan R. Panji Suroso.[114]

Tidak bisa disangkal lagi bahwa melalui Taswirul Afkar, Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan, maupun Islam Studie Club solidaritas di kalangan kaum pergerakan dan tokoh keagamaan kian memuncak. Hal seperti ini menimbulkan dampak makin bergelora semangat cinta tanah air di kalangan pemuda. Akan tetapi juga tidak bisa dihindari, karena terjadinya gesekan kepentingan dan makin menajamnya perselisihan paham keagamaan antar tokoh agama, timbul polarisasi yang tajam di kalangan mereka, meskipun tidak sampai mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yaitu cita-cita memerdekakan Indonesia. Kyai Haji Mas Mansur misalnya harus kembali ke organisasinya, Muhammadiyah dan Kyai Wahab terus melanjutkan penggalangan solidaritas ulama dalam forum tersebut.

Kristalisasi di kalangan organisasi tersebut makin keras bersamaan dengan munculnya khilafat baik di Turki maupun di Saudi Arabia yang kemudian ditarik garis lurusnya yang bermuara pada masalah perselisihan paham keagamaan. Yaitu terjadinya perselisihan antara paham Islam bermazhab dan tidak bermazhab.

Menjawab tantangan yang diakibatkan oleh perselisihan ini pada mulanya tokoh-tokoh seperti Kyai Wahab, HOS. Tjokroaminoto, Kyai Ahmad Dahlan, Haji Agus Salim dan Kyai Mas Mansur sendiri masih menampung seluruh aspirasi umat dengan cara sebaik-baiknya. Sementara itu eksponen-eksponen yang tergabung dalam Taswirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Syubbanul Wathan yang pada hakikatnya satu aliran baik dalam aqidah maupun ibadah (fiqih) serta satu pula dalam aspirasi kemasyarakatannya, melebur dalam satu wadah yang bernama Komite Hijaz dibawah pimpinan kiai Wahab.[115] Di dalam forum tersebut berkumpul ulama-ulama ternama dari berbagai daerah diantaranya adalah KH. Hasyim Asyari, KH. Bisri Sansyuri (keduanya dari Jombang), KH. Ridwan dari Semarang, KHR. Asnawi dari Kudus, KH. Nawawi dari Pasuruan, KH. Nahrowi dari Malang, dan KH. Alwi Abdul Aziz dari Surabaya dan masih ada beberapa ulama lagi,[116] pada tanggal 26 Januari 1926 para ulama tersebut berkumpul di Kertopaten, Surabaya dari pertemuan tersebut menghasilkan dua keputusan. Pertama, mengirimkan delegasi ke Kongres Dunia Islam di Mekkah untuk memperjuangkan kepada Raja Saud agar hukum-hukum menurut mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya dan Kedua, membentuk suatu jam’iyah bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) yang bertujuan menegakkan berlakunya syariat Islam yang berhaluan salah satu dari empat mazhab tersebut.[117]

Nama Nahdlatul Ulama diusulkan oleh Kyai Haji Alwi Abdul Aziz Surabaya. Ketika penyusunan kepengurusan, Kyai Wahab konon tidak bersedia menduduki jabatan Rois Akbar dan merasa cukup dengan jabatan Katib ‘Am (Sekretaris Umum) Syuriah. Jabatan tertinggi organisasi baru ini diserahkan kepada Kyai Haji Hasyim Asy’ari Jombang, sedangkan Presiden (Ketua) Tanfidziyah dipegang Hasan Gipo.[118]

Pada masa kolonial, kelompok santri berperan sebagai trigger unntuk menggalang kekuatan massa menentang penguasaan kolonial. Berbagai pemberontakan, terutama sepanjang abad XIX, yang terjadi di berbagai daerah konsolidasi kekuatannya dilakukan oleh kelompok santri. Dalam hal ini, peran tokoh pemimpin kelompok ini yang sering disebut “kyai” sangat sentral. Budaya ketaatan penuh pada kyai yang dibangun di pesantren-pesantren atau yang dilembagakan dalam tarekat-tarekat sufi memberikan jalan mulus bagi peran kepemimpinan kyai dalam kelompok ini. Beberapa pemberontakan seperti yang terjadi di Banten tahun 1881, Perang Paderi di Sumatera Barat, Perang Diponegoro tahun 1825-1830, dan sebagainya adalah perang-perang yang mencatat peran penting kelompok ini.[119] Ini merupakan sekelumit catatan sejarah dimana peran kaum santri dalam melawan penjajahan di Indonesia mempunyai andil yang cukup besar.

Pada masa Kebangkitan Nasional paruh pertama abad XX mulai bermunculan organisasi-organisasi kebangsaan sebagai akibat dari penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Eropa. Salah satu diantara organisasi-organisasi tersebut adalah Budi Utomo yang berdiri pada tahun 1908. Di Organisasi yang dipimpin oleh Dr. Soetomo ini banyak dari kalangan santri yang menjadi anggota dari perhimpunan ini. Salah satunya adalah K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), dimana pada tahun 1909 ia masuk menjadi anggota Budi Utomo. Motifasi utama ia masuk ke dalam organisasi ini yaitu guna memasukkan dan menyebarkan nilai keagamaan dalam organisasi yang para anggotanya dikenal sangat intelek tapi komitmen keagamaannya rendah.[120] Ini merupakan indikasi awal adanya sutu relasi antara golongan santri dan golongan nasionalis pada saat itu.

Sementara itu pada tahun 1914 di Surabaya berdiri sebuah kelompk dikusi yang dipelopori oleh kalangan santri yang terhimpun dalam satu wadah yang bernama Taswirul Afkar. Menurut KH. Chamim Syahid,[121] Di sana di bahas  tentang masalah sosial kemasyarakatan, disamping pelajaran agama, meski demikian tidak menutup kemungkinan masalah politik juga dibahas di forum tersebut mengingat iklim politik yang disuwarakan oleh kaum pergerakan di Surabaya pada kurun waktu tersebut begitu gencar-gencarnya. Mengingat  Wahab Chasbullah adalah seorang tokoh dari forum tersebut yang begitu intensnya dalam berhubungan dengan kaum pergerakan.

Namun tahun 1918 para tokoh dari kelompok diskusi Taswirul Afkar  (bertukar pikiran) yang terdiri dari KH. Acmad Dahlan,[122] R. Mangun, KH. Wahab Chasbullah menginginkan untuk mendirikan madrasah yang sama dengan madrasah yang dibentuk di kampung Kawatan yang berdiri pada tahun 1916. Hal ini ditujukan untuk mendidik anak-anak utamanya dari kalangan santri yang ada di wilayah sekitar daerah Ampel, Sawahan dan Pegirikan.[123] Menurut Atmorejo yan dituturkan kepada KH. Chamim Syahid dikatakan bahwa, sejak berdirinya pada tahun 1918 sampai dengan tahun 1929, nama yang tercantum di atas Name Board adalah Surya Sumirat Afdeling Taswirul Afkar.[124] Dalam catatan pemerintah, Taswirul Afkar merupakan bagian dari Perhimpunan Surya Sumirat yang sudah mendapat ”Rihperson” (surat pengesahan) dari pemerintah Hindia Belanda.[125] Dalam hal ini Taswirul Afkar tidak dijadikan perhimpunan sendiri melainkan dijadikan bagian dari perhimpunan Surya Sumirat, ini merupakan strategi yang digunakan oleh para pendiri Taswirul Afkar agar mendapat izin dari pemerintah, mengingat umat Islam pada saat itu ”berimage” negatif di mata pemerintah Hindia Belanda.

Dalam Taswirul Afkar ada sebuah relasi antara golongan nasionalis dan santri hal ini seperti termaktub dalam pidato Kiai Chamim sebagai berikut:

Adapun Surya Sumirat ialah Perhimpunan yang didirikan oleh Liden (anggota) dari   perhimpunan Budi utomo, kemudian Lid-lid dari Perhimpunan Surya Sumirat yang dari golongan santri berusaha mendirikan perhimpunan Islam dengan nama Taswirul Afkar.[126]

Dengan demikian dapat dipahami adanya relasi antara golongan santri dan golongan nasionalis ini disebabkan oleh beberapa hal yang mendorong gejala tersebut.

Pertama, karena atas dasar agama (Islam) kaum santri berbeda dari kaum nasionalis dalam sikap terhadap Belanda, jika orang-orang nasionalis menentang Belanda karena ia adalah pemerintahan asing, maka kaum santri menentang karena ia adalah pemerintahan kafir. Dari hal tersebut terlihat ada semacam sinergi antara cara pandang kaum santri dengan kaum nasionalis, dimana nantinya dari cara pandang tersebut  akan memberi sumbangan yang cukup besar bagi cita-cita mereka (kemerdekaan) karena sikap tersebut bersenyawa dengan sikap anti penjajah.

 Kedua, Hal ini menandai kaitan, setidak-tidaknya pengaruh, pembentukan Taswirul Afkar dengan Budi Utomo, paling tidak dengan anggota-anggota Budi Utomo di Surabaya. Barangkali karena hubungan dua tokoh Kyai Abdul Wahab dan Kyai Mansur dengan kalangan Budi Utomo cukup akrab, lahirlah gagasan membentuk wadah organisasi bagi anggota Budi Utomo yang umumnya kurang pengetahuan agama agar mereka dapat belajar agama dengan baik,[127] sebagaimana pada umumnya orang-orang yang terhimpun dalam organisasi Budi Utomo umumnya berlatar belakang pendidikan Eropa yang mengabaikan tentang pelajaran agama (Islam) dalam kurikulumnya.

Ketiga, pada saat itu belum terlihat pengkotakan golongan yang dipertentangkan. Apakah ia nasionalis, agamis, abangan, maupun santri. Mereka dapat menyatu dalam satu semangat yakni, mengangkat derajat dan martabat bangsa yang sedang terjajah. Hal ini ditunjukkan dengan intensitas pertemuan diskusi-diskusi kecil guna membicarakan berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan masalah keagamaan dan kebangsaan.[128]

 

 

 

 

 


[1] Deliar Noer. 1982, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, (cetakan kedua), hlm. XI.

[2]Enung K Rukiati dan Fenti Hikmawati. 2006, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, (cetakan pertama), hlm. 58.

[3]Maksum, 1999, Madrasah Sejarah dan Perkembangan, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, (cet. pertama), hlm. 26-28.

[4]Karel A. Steenbrink. 1994, Pesantren Madrasah Sekolah, Jakarta: LP3ES, (cet. kedua), hlm. 26-28.

[5]I. Djumhur dan Danasuparta. 1979, Sejarah Pendidikan, Bandung, CV ilmu, hlm.115-118.

[6]Maksum, op.cit., hlm. 94.

[7]Menurut Steenbrink, Adabiyah berdiri pada tahun 1907. Karel A. Steenbrink., op.cit., hlm. 40. Sedangkan menurut pengarang-pengarang lain Adabiyah berdiri pada tahun 1909. Lihat Mahmud Yunus, loc.cit., hlm. 63. Maksum, op.cit., hlm. 100-101. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1996, cet-2 hlm. 60. I.Djumhur, op.cit., hlm. 160.

[8]Ibid, hlm 63-66.

[9] Menurut Steenbrink, madrasah diniyah berdiri pada 1916. Karel A. Steenbrink, op.cit., hlm. 44. Sedangkan menurut pengarang-pengarang lain madrasah diniyah berdiri pada tahun 1915. Mahmud Yunus, loc.cit., hlm. 66. Maksum, op.cit., hlm. 103. Hasbullah, 1996, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, (cet. Kedua), hlm. 60.

[10]Karel A. Steenbrink, op.cit., hlm. 56.

[11] Hamim Syahid. Riwayat Singkat Taswirul Afkar. Naskah pidato pada peringatan hari lahir madrasah itu yang ke-50.

[12]Choirul Anam. 1990, Gerak Langkah Pemuda Ansor Sebuah Percikan Sejarah, Surabaya, Majalah Nahdlatul Ulama Aula, hlm. 3.

[13] Ibid.

[14] Suwandi, 1999,  Sejarah Pendidikan di Kota Surabaya pada masa Kolonial, Surabaya: University Perss IKIP Surabaya., hlm.44-45.

[15] Ibid. hlm.45.

[16] Zamakhsyari Dhofier,1982 Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES., hlm. 18.

[17] Hasan Mu’arif Ambary, dengan mengutip pendapat Harry J. Benda, mengatakan “Sejarah Islam di Indonesia adalah sejarah perluasan peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan agama, sosial, dan politik Indonesia… pesantren dalam perubahan sosial senantiasa berfungsi sebagai platform penyebaran dan sosialisasi Islam”. Lihat Hasan Mu’arif Ambary, 1998, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu., hlm. 318-319.

[18] Mahmud Arif, 2008, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LKiS., hlm.165.

[19] Lihat: Mahmud Yunus. 1979. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Cet. Ke-2. Jakarta: Hidakarya Agung., hlm. 216.

[20] Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, tumbuh dan berkembang di Indonesia sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya Islam di Indonesia. Jadi pesantren merupakan bentuk awal pendidikan Islam di Indonesia jauh sebelum diperkenalkannya sistem pendidikan Barat oleh pemerintah kolonial. Penjelasan tentang profil dan sistem pendidikan di Pesantren dapat dilihat dalam: Imron Arifin. 1993. Kepemimpinan Kyai Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Malang: Kalimasahada Press; Zamakhsyari Dhofier. 1982. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.

[21] Andree Fillard,1999,  NU vis – a – vis Negara, Yogyakarta; LKiS, hlm. 8.

[22]Choirul Anam, 1999, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Surabaya; Bisma Satu Surabaya, hlm. 30-31.

[23] Matuhu,1994, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS., hlm. 55.

[24] Nurcholish Madjid, 1997, Bilik-Bilik Pesanten: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina., hlm. 31.

[25] Sudjoko Prasodjo, et al.1982, Profil Pesantren, Jakarta: LP3ES., hlm. 55.

[26] W.L. Olthof, 1941, Poenika Serat Babad Tanah Djawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi taoen 1647,  Leiden: M. Nijhoff ‘s., hlm. 36-37.

[27] Ibid., hlm. 40-41.

[28] M. Dawam Rahardjo (Ed.), 1974, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES., hlm. 25.

[29] Manfred Ziemek, 1986. Pesantren Dalam Perubahan Sosial. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat., hlm. 158.

[30] Khozin.2001, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Malang: UMM Perss, hlm. 67-68.

[31] Ibid.

[32] Hasbullah. 2001, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Prasada., hlm. 26.

[33] Suwandi, op. Cit., hlm.46.

[34] Ibid., hlm. 47.

[35] Darul Aqsha, 2005, Kiai Haji Mas Mansur (1896–1946): Perjuangan dan Pemikiran, Jakarta: Erlangga., hlm. 20-22.

[36] Karel A. Steenbrink, 1982, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang., hlm. 160.

[37]  Ibid., hlm 57.

[38] Suwandi, loc.cit.,

[39] I Djumhur,1979, Sejarah Pendidikan, Bandung; CV Ilmu., hlm. 120-121.

[40] Ibid.

[41] Ibid.

[42] Ibid., hlm 46-47.

[43] G.H Von Faber,1953, Nieuw Soerabaja, Serabaia-Bussum: NV boekhandel en Drukkerij., hlm. 335.

[44] Sumarsono Mestoko,1979, Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, Jakarta: BP3K-Depdikbud., hlm.71.

[45] Gedung tersebut sekarang dijadikan SMK Negeri 1 Surabaya.

[46] Ibid., hlm.110

[47] Depdikbud,1978, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur, Surabaya: Depdikbud., hlm.39.

[48] R.Z. Leirissa, 1985, Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950, Jakarta: Akademika Pressindo., hlm. 43.

[49] A.K. Pringgodigdo, 1970, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesisa, Jakarta: Dian Rakyat, hlm. 52.

[50] Zini Muchtarom,1988, Santri dan Abangan di Indonesia, Jakarta: INIS.,hlm. 5.

[51] Ibid.

[52] Ibid.

[53] Ibid., hlm.6.

[54] Ibid., hlm.6-7.

[55] Zamakhsyari Dhofier. 1982, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, hlm.18.

[56] Clifford Geertz. 1983, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya.

[57] Kategori ini digunakan, misalnya, dalam penelitian Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES Jakarta 1994.

[58] Parsudi Suparlan. 1983, dalam “Kata Pengantar” untuk buku Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya Jakarta hlm. vii-xiv.

[59] Ibid., hlm. 172-178 (dengan beberapa adaptasi).

[60] Sistem pendidikan modern Barat, dalam studi ini digunakan sebagai istilah untuk menyebutkan model pendidikan umum yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda dan bersifat sekuler, yaitu didalamnya tidak ada keterkaitan dengan bentuk-bentuk pengajaran keagamaan, kalaupun ada hanya dalam skala kecil dan terbatas serta berorientasi pada kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Sistem pendidikan ini tidak hanya diperuntukkan bagi rakyat pribumi saja akan tetapi pada level tertentu secara eksklusif diperuntukkan bagi golongan tertentu, seperti golongan kulit putih dan golongan pribumi bangsawan tinggi. Dalam sistem pendidikan modern Barat ini terlihat jelas sifat deskriminatif pemerintah kolonial yang membedakan antara pribumi dan golongan Eropa atau Timur Asing. Tentang sistem pendidikan ini bandingkan dengan. M. Ali Hasan dan Mukti Ali. 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.,         hlm.,  5-7.

[61] H. Aqib Suminto. 1985. Politik Islam Hindia Belanda. Cet. ke-1. Jakarta: LP3ES., hlm. 49.

[62] Ibid., hlm. 10-11.

[63] Lihat Ali Hasan dan Mukti Ali. Op. Cit., hlm. 47.

[64] Karel A. Steenbrink. Ibid., hlm. 1-7.

[65] I.J. Brugmans, “Politik Pengajaran”, hlm 179.

[66] Soebardi, “Islam di Indonesia”, dalam Prisma, hlm 72.

[67] M. Ali Haidar, 1998, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama., hlm. 39.

[68] Suhartono, 1994, Sejarah Pergerakan Nasional: dari Budi Utomo sampai Proklamasi, 1908-1945, Yogyakarta: Pustaka Pelajar., hlm. V.

[69] Sartono Krtodirjo, 1992,  Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama., hlm. ix.

[70]  Nor Huda, 2007, Islam Nusantara: Sejarah Intelektual Islam di Indonesia, Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA., hlm. 106.

[71] Lothorp Stooddart, 1966, “Dunia Baru Islam”, terj “The New World of Islam”, Jakarta: Panitia Penerjemah., hlm. 232.

[72] Ibid., hlm.112.

[73] Ibid.,

[74] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), 1990, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V, Jakarta: Balai Pustaka., hlm. 184.

[75] Op. Cit.

[76] Hans Kohn, 1944. The Idea of Nasionalisem. New York: Macmillan., hlm.14.

[77] Ali Maschan Moesa, 2007. Nasionalisme Kiai Konstruksi Sosial Berbasis Agama. Yogyakarta: LKiS., hlm. 59.

[78] Ibid.

[79] Lihat George Mc Turnan Kahin, Nasionalism and Revolution in Indonesia, terj. Nin Bakdi  Soemanto, 1995.  Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan., hlm. 1. Menurut Kahin, lingkungan yang membentuk pertumbuhan nasionalisme Indonesia akan tampak unik bagi mereka yang pemahamannya tentang dinamika nasionalisme didasarkan pada sejarah isme di Barat. Kualitas keunikan itu tidak dapat dihilangkan meskipun dibuat perbandingan dengan nasionalisme yang terbentuk oleh penjajahan, seperti yang muncul di India dan Filipina. Perbandingan dengan Burma dan Indocina hanya akan menunjukkan kesesuaian pola dasar latar belakang kondisi saja.

[80]  Badri Yatim, 2001. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme. Bandung: Nuansa., hlm. 57-58.

[81] Michael A. Riff (ed). 1982. Kamus Ideologi Politik Modern. Terjemahan oleh M. Miftahuddin dan Hartian Silawati. 1995. Jogjakarta: Pustaka Pelajar., hlm. 193-194.

[82] A.K. Pringgodigdo, 1970, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesisa, Jakarta: Dian Rakyat, hlm. 17.

 

[83] Sumarsono Mestoko, 1979, Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, Jakarta: BP3K-Depdikbud., hlm.  39.

[84] Depdikbud, 1978, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur, Surabaya: Depdikbud., hlm. 39

[85] R.Z Leirissa, 1985, Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950, Jakarta: Akademika Presindo., hlm.43.

[86] A.K., Pringgodigdo, 1970, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia Jakarta: Dian Rakyat., hlm.56-57.

[87] Darul Aqsha, op.cit., hlm.82.

[88] M. Ali Haidar, 1998, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama., hlm. 38.

[89] Ibid.

[90] Ibid.

[91] Ibid.

[92] Ibid., hlm. 39.

[93] Laode Ida, 1996, Anatomi Konflik NU, Elit Islam, dan Negara, 1996, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan., hlm.2.

[94] Ibid., hlm.3.

[95] Einar Martahan Sitompul,1996, NU dan Pancasila, Pustaka Sinar Harapan., hlm.53.

[96] Swara Nahdlatoel Oelama, No. 2 Th. 1 Shafar 1346 h. hlm. 2-3.

[97] Kang  Yoong Soon, 2007, Antara Tradisi dan Konflik, Kepolitikan NU, Jakarta: UI PRESS., hlm. 82.

[98] Ibid.

[99] Greg Fealy, Wahab Chasbullah, Tradisionalisme dan Perkembangan Politik NU., dalam Greg Fealy dan Greg Barton (ed.) Tradisionalisme Radikal Persingungan Nahdlatul Ulama-Negara, 1997, hlm. 4.

[100] Ketika di Mekah Wahab Hasbullah membuka cabang SI di sana bersama dengan kawan-kawannya. Lihat Haidar Op. Cit., 41.

[101] Saifudin Zuhri, 1983, Kyai Haji Abdul Wahab Khasbullah: Bapak dan Pendiri NU, Yogyakarta: Pustaka Falaakhiiyyah., hlm. 25.

[102] Menurut Ali Haidar Nahdlatul-Wathan mendapat pengakuan badan hukum tahun 1916, tentu berdiri dua atau tiga tahun sebelumnya sebab untuk mengurus pengesahan itu memerlukan waktu. Untuk lebih jelasnya lihat Op. Cit., hal 41-42. Lihat juga Abdul Halim, 1970, Sejarah Pejuangan Kyai Haji Abdul Wahab, Bandung: Penerbit Baru., hlm. 7

[103] Kang Yoong Soon, Loc. Cit.,

[104] Ali Haidar, Op. Cit., hlm. 42.

[105] Saifudi Zuhri, Op. Cit, hlm. 25-26.

[106] Darul Aqsha, 2005, Kiai Haji Mas Mansur (1896-1946): Perjuangan dan Pemikiran, Jakarta: Erlangga., hlm. 80.

[107] Choirul Anam, 1999, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Surabaya:  Bisma Satu Surabaya., hlm 8-29.

[108] Arsip resmi Taswirul Afkar menurut Ibu Hanik Mars ini ditulis pada sekitar berdirinya madrasah ini (1918).

[109] Anam, Op. Cit., hlm.43.

[110] Deliar Noer, 1996, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES,. hlm. 242.

[111] Ibid., hlm. 246.

[112] Andre Feillard,1999, NU vis – a – vis  Negara, hlm.9. lihat juga  H. Umar Burhan, Hari-Hari Sekitar Lahir NU, Majalah Aula, No. 1, Th III, Januari 1981, hlm. 20-23.

[113] Saifudin Zuhri, Op. Cit., hlm. 26.

[114] Zul Asyri L.A, 1990, Studi tentang Faham Keagamaan dan Upaya Pelestariannya Melalui Lembaga Pesantren, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah., hlm. 44.

[115] Saifudin Zuhri, Op. Cit., hlm. 28.

[116] Loc.Cit.,

[117] Anam, Op. Cit., 58-60. Saifudin Zuhri, Loc.Cit.,

[118] Mengenai susunan pengurus NU yang pertama kali dibentuk lihat Statuen Perkumpulan Nahdlatoel- Oelama’ (arsip resmi NU)

[119] Sartono Kartodirdjo, 1984, Pemberontakan Petani Banten 1888, Pustaka Jaya Jakarta., hlm. 13-14.

[120] M. Mukhlisin Jamil dkk. 2008, Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhhamadiyah, al-Irsyad, Persis, dan NU, Cirebon: Fahmina Institute., hlm. 26.

[121] KH. Chamim Syahid adalah guru pada Madrasah Taswirul Afkar antara tahun 1929-1935.

[122] Mengenai KH. Acmad Dahlan menemukannya dalam Arsip Nasional daftar orang-rang terkemuka di Jawa no. A 533,  jangan keliru dengan nama KH.A. Dahlan pendiri persyarikatan Muhamadiyah.

[123] Wawancara dengan Ibu Hanik tanggal 2 Juni 2009.

[124] Naskah pidato KH. Chamim Syahid dalm peringatan HUT Taswirul Afkar ke 50.

[125] Ibid.

[126] Ibid.

[127] Haidar, Op. Cit., hlm.44.

[128] Choirul Anam, 1990, Gerak Lankah Pemuda Ansor: Sebuah Percikan Sejarah Kelahiran, Surabaya: Majalah Nahdlatul Ulama AULA., hlm.3.




0 komentar:

At a Glance

Check Page Rank of any web site pages instantly:
  
This free page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service

Pengikut

Meteran

sing moco

Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger templates

Welcome to Awalxander's Kingdom

Free Guestbook
My Guestbook

Awak Ndepor

Foto Saya
Awal Age Permadi
Lihat profil lengkapku