Rabu, 02 September 2009

GERAKAN MENOLAK HEGEMONI (STUDI KASUS WONOSARI-GUNUNGKIDUL-YOGYAKARTA)









GERAKAN MENOLAK HEGEMONI
(STUDI KASUS WONOSARI-GUNUNGKIDUL-YOGYAKARTA)



Tadinya aku pingin bilang
Aku butuh rumah,
Tapi lantas ku ganti
Dengan kalimat :
Setiap orang butuh tanah
Ingat : setiap orang!!
Aku berpikir tentang
Sebuah gerakan
Tapi mana mungkin
Aku nuntut sendirian??

Wiji Thukul, “Tentang sebuah Gerakan”.



RINGKASAN
Kondisi pedesaan Jawa telah mengalami perubahan yang sangat mendasar selama kurun waktu empat dasawarsa terakhir. Komersialisasi pertanian semakin membawa kepada ketidakstabilan pasar. Sementara harga-harga barang memperpuruk petani miskin untuk bisa mencukupi pembiayaan produksi mereka, baik sektor pertanian maupun kegiatan-kegiatan off farm serta berbagai kebutuhan pokok lainnya. Sepanjang sejarah perjalanan reforma sumber-sumber agraria, polarisasi dan differensiasi di pedesaan pada kenyataannya selalu rawan terhadap intervensi dari berbagai pokok aliran. Terbentuknya kelas tuan tanah/petani kaya dan kelas petani tak bertanah telah terjadi semenjak awal abad 19, sehingga telaah dan analisis dari perspektif sejarah ekonomi-sosial akan memberi artikulasi penting bagi perkembangan dan dinamika reformasi sumber-sumber agraria.
Akibatnya, reforma agraria untuk mengembalikan hak-hak petani, sebagai agenda utama hingga saat ini, berada pada posisi sulit, karena tak mudah menemukan kelompok masyarakat dan partai politik yang secara tulus membela rakyat pedesaan.
Desa Kebunsayur terletak 5 kilometer dari kota Wonosari ke arah barat daya dan 5 kilometer sebelum makam Sunan Giring. Desa ini adalah daerah pertanian yang nisbi subur. Berada pada zona ledokan Wonosari (Wonosari depression), lembah sungai Oya, dan bahkan memiliki jalur aliran sungaai bawah tanah yang muncul ke permukaan, yang tidak ada pada desa-desa yang berada pada zona lainnya. Jenis tanaman yang bisa ditanam adalah padi IR 36,C4 (sejak tahun 1978), IR 64 (sejak tahun 1988), dsb.
Oleh sebab itu, sebagian besar penduduk desa Kebonsayur adalah sebagai petani, yang mencapai 86,40%. Tentu saja, sektor sektor pertanian banyak pula yang dimasuki oleh penduduk yang bekerja bukan sebagai petani, seperti pegawai negeri sipil, anggota TNI, karyawan swasta, para tukang, pamong, wiraswasta dan sebagainya., baik sebagai pekerjaan sampingan maupun sebagai pemilik atas tanah-tanah pertanian setempat.
Sepanjang sejarah republik ini, desa tak lebih dari bikinan penguasa untuk menentukan haru-birunya desa., termasuk menguasai rakyat secara fisik maupun mengatur pranata-pranata sosial yang diciptakan untuk membentuk kebiasaan, perilaku dan pemikiran rakyat. Seperti yang dikemukakan oleh Schrieke (1957):

Rakyat hanya menjadi abdi dalem dalam konteks budaya kekuasaan patrimonial (raja), sehingga di dalam tatanan ini terjadilah hubungan kekuatan rakyat dengan kekuasaan seperti: para aparatus (termasuk aparatus desa) memperoleh penghasilan dari appanage dan pemotongan pajak yang belum diserahkan pada raja, sedangkan eksistensi abdi dalem hanya mendapat “jatah” sebagai sumber kehidupan, bukan pemilikan tanah/sumber daya secara otnom.

Pada kekuasaan patrimonial, aparat desa bersikap taken forgranted, karena tidak memungkinkan untuk bersikap lain, jika mau bertahan dalam mekanisme ini, seraya juga menunggu jatah yang tak seberapa dari penyisihan pajak desa sebagai balas jasa, dan anggaran belanja desa sebagai sumber kekuatan untuk membuat program pembangunan untuk rakyat.

Demonstrasi Kepala Desa.
Perangkat desa se-Kabupaten Sleman, yang tergabung dalam Forum Komunikasi desa se-Kabupaten Sleman (FKPDS), pernah menggruduk pemerintah daerah menuntut peningkatan kesejahteraan mereka. Kepala desa se-Kabupaten Gunungkidul juga pernah menuntut DPRD untuk mempertimbangkan Badan Perwakilan Desa (BPD). Gejala demikian menunjukkan adanya beberapa kegairahan desa untuk melakukan suatu perubahan. Beberapa tuntutan yang dikemukakan oleh para aparat desa tersebut ialah: Pertama, peningkatan kesejahteraan, terutama gaji aparat desa yang terlalu kecil. Kedua, sumber pendapatan desa, yang ditangani oleh pemerintah daerah, yang nilainya lebih tinggi diminta dikembalikan ke desa. Ketiga, bantuan proyek/program tidak diwujudkan sebagai proyek jadi, tetapi pengelolaan secara otonom oleh desa. Keempat, perlunya peningkatan dan pengembangan sumber daya aparat desa.
Dengan demikian, ada harapan besar dari aparat desa untuk semakin mampu, dipercaya oleh masyarakatnya, meningkatkan peran masyarakat, tetapi apa daya kemampuan menjadi sangat terbatas dalam kondisi-kondisi seperti ini. Jika mau otonom, maka sumber-sumber ekonomi juga harus diberi otonomi luas. Tuntutan para Kepala Desa dihadapan DPR terasa sudah sangat fundamental bagi kehidupan desa.
Namun, aparat desa sekali lagi bukan aparat yang otonom, melainkan perpanjangan tangan dari rezim di atasnya, sehingga dengan mudah harapan di atas tergilas oleh kepentingan-kepentingan politik para partai yang berkuasa. Situasi demikian tidak mendorong banyak aparat desa untuk melakukan pemihakan pada nasib rakyat.
Akibatnya, peran aparat desa sering dipandang oleh masyarakat desa tetap sebagai kaum elitis, tidak mau memperjuangkan kepentingan masyarakat, lebih memburu keuntungan diri, bahkan tidak pernah peduli terhadap rencana-rencana masyarakat untuk melakukan perubahan, dan sebagainya. Sehingga peran aparat desa (lurah) telah mengalami perubahan yang mendasar, dari peran lurah sebagai pengayom desa terhadap ancaman dan bahaya dari luar, dan bersama dengan para tetua desa membuat dan menciptakan keadilan di desa.
Mereka kini menjadi aparat desa yang membantu mempengaruhi masyarakat untuk bekerjasama dan mengadopsi sesuatu yang baru dalam berbagai hal yang terkait dengan teknik-teknik pertanian, sanitasi, dan sebagainya. Lurah tetap saja menjadi agen pemerintah untuk membujuk masyarakat desa menerima rencana-rencana pemerintah dan untuk mengkoordinasikan distribusi berbagai sumber daya baru yang disediakan untuk masyarakat desa.

Keuangan Desa
Problem utama yang dirasakan oleh aparat desa dalam pengelolaan anggaran adalah miskinnya desa dalam mengakses uang-uang desa yang dikumpulkan dari rakyat itu sendiri. Hubungan desa dengan rakyat meliputi kegiatan-kegiatan pungutan desa dan penarikan pajak desa. Umumnya, masyarakat menyadari kewajibannya membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Kesadaran ini menjadikan desa tidak terlalu berat untuk melakukan penarikan. Namun dana PBB itu tidak untuk dimanfaatkan desa secara langsung. Dari total dana PBB sekitar Rp. 6.656.000, dikembalikan ke desa sebesar Rp.2.097.000. Hal ini berlaku sama untuk semua desa di Gunungkidul, berapapun total pajak dari desa tersebut.
Kesulitan keuangan membuat desa harus melakukan tarikan/pungutan kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan desa. Secara obyektif, baik rakyat maupun aparat desa, sesungguhnya merasakan berat akan situasi ini, akan tetapi karena tidak ada pilihan lain, maka harus dikerjakan. Dari total penerimaan nyata desa, pungutan dalam bentuk uang mencapai 10,78%. Selebihnya adalah penerimaan bukan tunai dalam bentuk dukungan tenaga kerja desa yang tidak pernah dibayar dalam wujud swadaya dan gotong royong. Secara nyata, masyarakat pun tahu bahwa uang yang bisa dikontrol oleh rakyat sendiri praktis berasal dari pungutan desa tersebut, karena tidak jarang juga bantuan pemerintah pusat maupun daerah tidak diketahui rakyat.
Lebih merepotkan lagi, banyak kasus bantuan dari pusat atau daerah melalui proses yang tidak terbuka dan adil, misalnya proyek-proyek sarana-prasarana yang tidak ditangani langsung oleh desa tetapi daerah atau pusat menenderkan proyek tersebut kepada kontraktor. Sedangkan desa hanya diminta menjadi pengawas proyek tanpa imbalan yang layak. Jika proyek sudah selesai, aparat desa diminta menandatangani bahwa telah menerima bantuan tersebut. Hal ini dirasakan sangat memberatkan, karena desa tidak otonom melakukan pengelolaan yang sebenarnya bisa dikerjakan oleh desa, dengan kualitas yang lebih baik dan kuantitas yang lebih besar, serta partisipasi masyarakat bisa diharapkan, dan tidak terus-menerus gotong royong tanpa balas jasa.

Perlawanan Petani Melawan Hegemoni PERHUTANI
Desa-desa daerah tengah pada awalnya adalah daerah pemukiman penduduk yang nisbi paling padat sepanjang sejarah Gunungkidul karena merupakan daerah kegiatan pertanian sejak pemerintahan Majapahit sampai dengan pemerintahan Mataram Islam yang berkolaborasi dengan pemerintahan kolonial Belanda. Pada awalnya mereka adalah masyarakat yang melakukan migrasi dari daerah dataran rendah, karena menghindari pajak pertanian, dan berbagai pungutan yang dikeluarkan oleh pemerintahan kolonial.
Pemerintahan juga menentukan bahwa hutan yang berada di sejumlah bagian zona tengah, zona utara dan zona selatansebagai hutan negara dan hutan lindung. Sejumlah pejabat kehutanan kemudian dibentuk: polisi hutan dan sinders. Hutan pada masa itu, dan di awal Orde Baru, makin menguatkan penataan dan pembatasan hutan, sehingga masyarakat tidak memiliki akses terhadap sumber daya hutan. Bentuk-bentuk pelarangan kepada masyarakat untuk mencari kayu-bakar, rumput, dan sebagainya, makin menguat. Sejalan dengan menguatnya larangan tersebut, makin banyak hutan yang ditebangi tanpa terawasi. Memang, kasus pencurian kayu dan bibit kayu jati oleh masyarakat adalah pemandangan yang biasa terjadi. Tetapi penebangan hutan oleh pihak PERHUTANI sendiri jauh lebih hebat, karena hutan-hutan ini mensuplai kebutuhan kayu sebagai bahan bangunan ke sejumlah ibu kota propinsi dan kebutuhan rmah tangga para pejabat lokal.
Maka daerah hutan produksi dan lindung di Kabupaten Gunungkidul berada dalam situasi memprihatinkan. Terutama di kawasan Pegunungan Seribu, bahkan sudah berada dalam kondisi yang sangat kritis. Rakyat melakukan pencurian bibit-bibit jati dengan cara ketika mereka pergi atau pulang sekolah melewati hutan belantara, mereka mencuri bibit-bibit pepohonan yang tumbuh diantara perpohonan di hutan itu dan diselipkan kedalam buku sekolah atau dimasukkan ke dalam keranjang ditutupi rerumputan yang kemudian mereka tanam di kebon atau pekarangan rumah mereka. Tak terbayangkan bahwa dua puluh tahun kemudian, proses mencuri yang mereka lakukan adalah proses penyelamatan bagi krisis hutan di kawasan itu. Memang, rakyat memiliki logikanya sendiri di tengah serakahnya birokrasi yang mengejar pertumbuhan ekonomi negara atau ekonominya sendiri.

Awal Perlawanan
‘Gugur gunung’ adalah kata-kata yang sering muncul di corong-corong masjid dan kumpulan-kumpulan desa menjelang peringatan ’17 Agustus’. Tepatnya, menjelang bulan Agustus 1986, instruksi lewat Kepala Dusun dan Ketua-ketua RT kepada warga untuk berbenah dan bersih-bersih halaman, membuat pagar, gapura bambu pada setiap gang-gang desa. Kesibukan menjadi semakin sibuk lagi, karena tugas yang dibebankan kepada warga, yakni mempersiapkan acara karnaval yang akan dipertontonkan di alun-alun kabupaten dan diarak keliling kota. Tentu saja, warga harus mempersiapkan, menghiasi mobil yang disewanya, sepeda hias, membuat rumbai-rumbai, memamerkan hasil produksi, kesenian lokal, dan sebagainya. Jatah yang harus mereka tanggung adalah membangun tugu permanen yang merupakan batas Kecamatan Wonosari dengan kecamatan sebelah baratnya yang merupakan instruksi langsung dari Bapak Camat.
Dengan bantuan beberapa kantong semen yang sangat jauh dari cukup, masyarakat Dusun Layar mulai membangun tugu batas tersebut secara gotong royong. Lebih dari 90% bahan, tenaga dan konsumsi selama pengerjaan proyek tersebut berasal dari swadaya murni masyarakat Dusun Layar sendiri.
Masyarakat menerima karena Kepala Dusun sudah tak berdaya menolak, dan menolak adalah hal yang tabu bagi rezim Orde Baru saat itu. Bak ‘jatuh ketimpa tangga’, begitulah pikiran sebagian besar warga. Dengan nada yang kecewa, masyarakat tetap menjalankan. Hingga tak mengherankan kalau ada pemantau dari aparat pemerintahan, selalu mereka sambut dengan pernyataan-pernyataan sindiran pedas yang bisa mendidihkan darah para aparat tersebut. Dengan sengaja mereka mengenakan kostum merah-merah bergambarkan banteng segi lima dan kaos hijau bergambar bintang segi lima yang meerupakan kostum-kostum partai politik yang tak dikehendaki oleh aparat desa maupun kecamatan. Nyanyian dengan suara tak beraturan dan saling saut-menyaut sengaja mereka lakukan sebagai simbol perlawanan.
Esok harinya, sejumlah tokoh masyarakat dan Kepala Dusun dipanggil ke Balai Desa oleh kepala Desa. Tentu saja, kemarahan, caci-maki, dan stempel ‘pembangkang’, ‘mau berontak pemerintahan yang sah’, ‘kesurupan PKI’, dan sebagainya, harus mereka tanggung. Tak berhenti demikian, setiap kegiatan pembangunan, bantuan-bantuan tidak tersentuh lagi oleh masyarakat Dusun Layar.

Siasat Boikot Dan Menipu
Sekelompok aktivis mahasiswa yang tergabung dalam VDC (Volunteer Development Corps), pada awal tahun 1987, mulai bekerjasama dengan warga. Melalui diskusi bersama masyarakat, diputuskan sejumlah kesepakatan, yakni pengembangan beberapa jenis usaha yang digeluti warga. Kelompok ‘Campursari’ adalah kelompok simpan pinjam yang paling lama, sebagian besar anggotanya adalah petani yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai pedagang bubur kacang ijo keliling.
Tahun 1990, kelompok ini mendapatkan bantuan berupa ternak kambing sejumlah 56 ekor. Sepuluh ekor diantaranya sengaja dijual untuk membeli satu ekor sapi. Bantuan ini kemudian dipinjamkan kepada anggota dengan sistem gaduh. Setahun berjalan, sapi satu-satunya yang dimiliki mati karena keracunan. Akibatnya, muncul persoalan bahwa siapa yang harus menanggung kerugiannya. Kasus ini tak terpecahkan, karena anggota penggaduh tidak mau bertanggung jawab atas kerugian ini. Bahkan pengurus dituding para anggotanya tidak tegas dalam mengambil kebijakan. Dan terpaksa mereka melakukan boikot dengan menjual kambing-kambing yang kemudian hasilnya dibagikan kepada warga lain yang tidak kebagian jatah ternak.
Setidaknya ada lima hal yang mendasar yang menyebabkan mereka melakukan hal itu. Pertama, dorongan untuk memenuhi subsistensi di masa paceklik, akibat kemarau panjang tahun 1991. kedua, tuntutan akan pemenuhan pembiayaan sekolah bagi anak-anak mereka. Ketiga, kesulitan mendapatkan makanan ternak pada musim kemarau. Meskipun terjadi proses pemboikotan anggota, kelompok ini tetap menjalankan kegiatan rutin selapanan berupa kegiatan simpan pinjam. Keempat, peran VDC yang terlalu mendiktekan kambing sebagai usaha alternatif, tanpa memperhatikan faktor-faktor kondisional yang ada, sementara mereka kompromis terhadap rencana-rencana itu, karena tuntutan praktis segera menginginkan bantuan. Kelima, pengurus dirasa tidak mampu memberikan keputusan yang adil bagi semua anggota.

Jatuhnya Tanah Ke Tangan Makelar
Kehadiran Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) awal tahun 1989 di desa Kebunsayur merupakan hal yang menarik, meskipun terjadi pro dan kontra mengenai keberadaannya. Beberapa hal yang dikerjakan oleh lembaga ini adalah:
Pertama, pengelolaan pekarangan untuk lahan produktif. Beberapa jenis tanaman yang diintroduksi adalah petai dan mangga. Penyuluhan dengan membuat ilustrasi bahwa tanaman petai dan mangga lebih produktif dan menghasilkan tiap tahunnya daripada menanam pohon jati.
Tanpa basa-basi, seorang anggota kelompok tani dusun ini menyetop penyuluhan dan mengemukakan kenapa mereka menanam jenis tanaman tahunan seperti: pohon jati, sono keling ataupun mahoni. Ia mengajukan kalkulasi hasil komparatif antara usaha tanaman-tanaman tahunan tersebut dengan tanaman baru yang dianjurkan. Akhirnya, seorang anggota memberikan gambaran bahwa tanaman-tanaman yang bisa mereka tanam adalah jenis tanaman yang bersifat jangka panjang.
Perdebatan tersebut menunjukkan bahwa proses-proses pembinaan yang tak mengenali konteks dan realitas masyarakat akan mengalami kegagalan dan tak berarti.
Kedua, membuat kebun-kebun percobaan, yakni untuk jenis tanaman buah (pepaya) dan sayur-sayuran (berbagai jenis asal Taiwan), serta kedelai dan jagung varietas unggul. Berbagai kebun percobaan dilakukan dengan menyewa tanah kas desa dan lungguh, menyewa tanah penduduk yang memiliki lahan luas denga sistem bagi hasil. Sedangkan untuk lahan pekarangan dilakukan berbagai jenis pembianaan untuk menanam jenis tanaman pekarangan yang menurut LIPI, bisa dilakukan dan cocok untuk karakteristik tanah-tanah di desa ini. Untuk kasus sewa dari pemerintah desa maupun penduduk setempat diperoleh dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga pasar sewa tanah lokal yang saat itu, yakni Rp 200.000 per hektar per tahun. LIPI menyewa dengan harga Rp. 400.000 per hektar per tahun.
Proyek percontohan yang mereka bangun memang memberikan kesempatan kerja, karena mandor dan buruh diambil dari masyarakat setempat. Namun banyak masyarakat yang membagi hasil dari pengelolaan lahan, akhirnya kesulitan mendapatkan lahan garapan. Pergeseran dari sakap ke sewa tunai (jual tahunan) secara perorangan. Hal ini menjadi semakin dominan, terutama tanah-tanah sepanjang pinggiran sungai dan yang memiliki pengairan berupa sumur ladang. Perlawanan rakyat memang tak terlihat jelas, tetapi pencurian bibit pepaya, bibit pemberian LIPI sebagian dijual, sistem maro yang tak dijalankan, semuanya merupakan perlawanan yang nyata terjadi.
Kas desa sebagai sumber pembiayaan pembangunan dan kantor desa mengalami pergeseran pula, dari peran kas desa sebagai alat distribusi sumber daya yang adil bagi rakyat miskin menjadi alat komersialisme yang berpolakan pada hubungan-hubungan penyewaan yang prosedural. Desa semakin membuthkan dana segar untuk mencukupi berbagai kebutuhan dan pembiayaan pembangunan. Untuk itu, setelah peran-peran penyewaan LIPI berakhir tahun 1992, aparat desa menyerahkan proses penyewaan tanah kepada para pemilik modal. Pemilik modal ini menyewa tanah-tanah kas desa dan menyewakan kembali dalam satuan-satuan yang kecil-kecil ke petani.

Menyiasati Bantuan
Kegagalan di atas mendorong sejumlah warga, terutama 30 orang masyarakat yang berinisiatif untuk membentuk kelompok baru. Mereka kemudian menamakan diri Kelompok Ngudi Subur (KNS) dengan kepengurusan yang berbeda dengan Kelompok Campur Sari (KCS), meskipun beberapa pengurus merupakan wajah lama dari KCS.
Menjelang musim penghujan tahun 1992, kelompok baru ini mendapatkan tawaran berupa warung pupuk dari Kredit Usaha Tani (KUT) melalui Koperasi Bumi Karta dan Koperasi Unit Desa di kecamatan Wonosari. Untuk merespon pinjaman KUT ini 10 orang pengurus KNS membentuk sendiri kelompok di KNS, yakni Kelompok Warung Pupuk (KWP). Syarat pengambilan KUT adalah jumlah warga yang terlayani dengan tanda tangan dan sertifikat tanah sebagai jaminan. KWP mengklaim bahwa anggota-anggota kelompoknya banyak, bahkan dukungan warga berhasil diperolehnya dari anggota KNS dan KCS. Tawaran inilah yang membuat KNS digunakan sebagai alat untuk mencari dana dengan membuat proposal ke lembaga dana melalui VDC.
Penggandaan kelompok makin menarik, karena kedua-duanya menghasilkan KWP yang mampu mendongkrak jumlah pinjaman pupuk dari 5 ton, sebagaiman umumnya dusun-dusun lainnya menjadi 10 ton. Sedangkan KNS mendapatkan pinjaman tanpa bunga sebesar Rp 2,5 juta.
Fenomena tersebut memperlihatkan bagaimana masyarakat menggandakan kelompok untuk memperoleh serangkaian bantuan guna memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.
Hal yang menarik setelah ditelusuri, KWP ternyata hanya dikuasasi oleh 10 orang saja yang notabene adalah pengurus KNS, sehingga keuntungan warung pupuk hanya masuk ke kantong sejumlah pengurus itu saja. Sehingga, KWP seolah-olah berkeinginan untuk memisahkan diri. Hubungan antara KWP dengan KNS berubah menjadi kelompok ‘peminjam yang meminjami’, bukan sebagai unit usaha di bawah KNS.
Kondisi inilah yang kemudian membuat warga tidak percaya lagi. Aksi boikot warga dilakukan dengan tidak membeli pupuk ke KWP. Dampaknya, KWP ambruk akibat pupuk-pupuk yang tak terjual. Sejumlah pengurus menyisakan utang ke KUD Bumi Karta dan tertahannya sertifikat tanah milik pengurus sebagai jaminan KUT. Akibatnya, KWP dan KNS mengalami pailit, meskipun sebenarnya masyarakat ikut menikmati kepailitannya dengan tidak mengembalikan uang pinjamannya.
Dari Krisis Sampai Perlawanan Terorganisir Masa Krisis
Pada awal berdirinya, kelompok-kelompok ini mewadai hampir 90% kepala keluarga atau sekitar 70-an KK dari 86 rumah tangga di dusun Layar. Ketiga kelompok memiliki interseksi anggota maupun kepengurusannya. Pertarungan kepentingan antara pengurus dan anggota sebagaimana digambarkan tadi, mewarnai lembaran-lembaran kelompok-kelompok ini. Bahkan, sumber-sumber krisis teralami ketika pengurus tergoda untuk mendominasi penguasaan sumber daya kelompok, kesempatan dan berbagai keputusan. Namun, anggota tidak tinggal diam, mereka melakukan perlawanan-perlawanan secara sembunyi-sembunyi, aksi boikot dengan tidak membeli pupuk pada kelompok dan tidak mengembalikan pinjamannya, dan sebagainya, untuk mengelabuhi pengurus. Cara-cara yang sama juga dilakukan terhadap dominasi lainnya, seperti aparat pemerintah dan LIPI, dengan memancing kemarahan aparat untuk sekedar menghambat dominasi, menggelapkan benih, mencuri pepaya, dsb.
Pada prinsipnya bahwa berbagai cara-cara perlawanan ini telah terbukti membawa kelompok-kelompok ini masuk ke masa krisis dengan meluluh-lantahkan kelompok-kelompok dusun, atau setidaknya kelompok menjadi sekedar perkumpulan arisan dan mengelola simpan-pinjam yang praktis tak mampu mencukupi kebutuhan kelompok. Bahkan tak jarang anggota perlahan-lahan meninggalkan kelompok dengan berbagai alasan, seperti sudah merasa tua, bahkan merasa tidak mendapatkan keuntungan.
Mereka telah mampu mempertontonkan bahwa segala perubahan dapat dikerjakan tanpa kekerasan. Barangkali ini pulalah yang tetap menjaga dusun dari pertikaian, konflik fisik, dan pertarungan serius yang kontra-produktif. Solidaritas, gotongroyong, tetap dilakukan dalam situasi saling bertentangan kepentingan dan kompetisi yang hidup serta perebutan sumber daya yang semakin ketat.
Perubahan kelompok setelah krisis mulai terjadi dan dikerjakan sejak awal 1994. kepengurusan kelompok-kelompok tersebut tidak boleh lagi didominasi para perngurus lama dan tidak ada interseksi antar kelompok. Kepengurusan KCS tidak boleh dirangkap dengan kepengurusan KNS, sedangkan KWP telah mati dengan sendirinya, karena dipandang terlalu elitis. KCS dan KNS berjalan dengan ketentuan-ketentuan yang disepakati oleh pengurus baru dengan anggotanya. Kedua kelompok ini memang memiliki peran yang sangat penting bagi pembangunan dusun hingga sekarang, tanpa mengabaikan peran-peran masyarakat lainnya.

Melawan Makelar Tanah
Komersialisasi tanah kas desa, dimana aparat pemerintah desa lebih mengejar uang sewa berjangka panjang dari kantong para makelar tanah yang mampu menyediakan sejumlah besar uang tunai dalam waktu yang cukup cepat, merupakan masalah yang disadari oleh KNS. Tanah-tanah kas desa yang disewakan para makelar dirasakan sejumlah warga dusun ini. Para makelar ini setidaknya memperoleh keuntungan 100-150%. Selama lima tahun terakhir, fenomena itu terus berlangsung, mengingat ketidakberdayaan petani kecil untuk memenuhi persyaratan yang diajukan oleh aparat pemerintah desa, yaitu ketersediaan uang tunai dalam jumlah besar untuk menyewa hamparan tanah kas desa, yang mencapai 1 ha-2 ha selama jangka waktu 3 tahun lebih. Kondisi yang demikianlah yang menyebabkan mereka pasrah pada penawaran para makelar tanah kas desa.
Kondisi tersebut membangkitkan kesadaran pengurus dan anggota masyarakat Dusun Layar yang tergabung dalam KNS ataupun KCS untuk mereformasikan kas desa dari penguasaan makelar. Proses negoisasi dengan aparat desa merupakan proses yang panjang, bahkan berbagai keraguan aparat pun tak terhindarakan. Inisiatif dari anggota adalah menyerahkan uang yang kurang lebih setara dengan uang yang mereka serahkan kepada makelar.

Lengsernya Kepala Dusun
Kepala dusun lama merupakan figur masyarakat akan keluguan dan kejujuran. Dia menyerahkan jabatannya kembali kepada warga dusun Layar pada tahun 1998. Sampai akhir jabatannya, dia tidak memiliki tanah lungguh yang sama dengan Kepala dusun lainnya. Dia hanya menguasai 2 ribu meter persegi dengan karakteristik tanah yang tidak subur. Ada dua hal yang membuat warga ikut memperjuangkan tanah bengkok. Pertama, kegiatan kepala dusun bersifat sosial. Dalam setiap acara dusun, peristiwa kelahiran, perkawinan, kematian, dan kegiatan-kegiatan pembangunan dusun, dia selalu menjalankan peran penting. Namun perjuangannya itu tidak dibarengi dengan penghasilan yang cukup dan tetap. Kedua, dengan memperjuangkan tanah lungguh, diharapkan kepala dusun penggantinya tetap ingat pada perjuangan dan aspirasi masyarakat Layar. Kesepakatan tuntutan disetujui pula oleh LKMD dan pejabat sementara Kepala Dusun yang dirangkap oleh Kepala Urusan Kesejahteraan Desa Kebunsayur.
Tuntutan menambah kas dusun dan pemindahan lokasi tanah bengkok tidak mendapatkan tanggapan yang serius, karena aparat desa mengatakan bahwa masih banyak yang lain yang mau menerima. Akibatnya, terjadi kespakatan bahwa tidak ada seorang pun yang akan mencalonkan diri sebagai Kepala Dusun yang baru. Satu potret peristiwa yang cukup menarik berlangsung saat kunjungan Lokakarya Otonomi dan Partisipasi Masyarakat ke Dusun Layar yang juga dihadiri oleh aparat pemerintah Desa Kebunsayur. Dalam pertemuan itu, Kepala Desa Kebunsayur mengatakan bahwa pemerintah desa berharap agar tercipta komunikasi yang harmonis antara pemerintah desa dengan masyarakatnya. Oleh karena itu diharapkan adanya kader terbaik dari Dususn Layar untuk menjabat sebagai Kepala Dusun.
Pernyataan itu pun langsung ditanggapi oleh tokoh masyarakat Dusun Layar yang mengungkapkan bahwa mereka bersedia mencalonkan diri sebagai kepala dusun yang baru apabila pemerintah desa bersedia memenuhi tuntutan warga Dusun Layar.
Jawaban itu memperlihatkan bagaimana masyarakat Dusun Layar memperjuangkan dan menuntut keadilan bagi dusun mereka. Bentuk perlawanan itulah yang sering dilakukan oleh masyarakat untuk menuntut hak-haknya. Hal inilah yang menyebabkan Dusun Layar mendapatkan sebutan sebagai “Aceh-nya Kebunsayur”.

Melawan Ketidak Adilan
Iuran desa merupakan alternatif sumber pembiayaan pembangunan desa, setelah kas desa. Berbagai iuran yang pernah ada pada tahun-tahun sebelumnya tidak menghasilkan bantuan apapun pada dusun ini. Bahkan menurut sejumlah warga, dusun ini termiskin dibandingkan dusun-dusun lainnya, tetapi tidak satu kali pun uang-uang itu digulirkan ke masyarakat ini. Artinya, manurut masyarakat Layar, yang miskin justru mensubsidi yang kaya.
Kondisi tersebut telah berlangsung cukup lama, sehingga membuat mereka sadar untuk berbuat sesuatu. Iuran tetap dijalankan, setelah terkumpul, kemudian mereka menyodorkan satu usulan pembangunan dusun sebelum menyerahkan dana tersebut. Jika usulan tidak disetujui, maka uang iuran akan tetap ditahan di dusun. Fenomena tersebut merupakan simbol perlawanan rakyat ketidak adilan dan ketidak jujuran aparat pemerintah yang tak pernah transparan dan sarat dengan nuansa KKN dalam mengalokasikan dana pembangunan. Sehingga, sangat sedikit yang benar-benar biasa dirasakan rakyat, yang nyata-nyata secara rela membayar iuran pembangunan.

Sanksi Sosial
Kasus mengenai perjuangan tanah lungguh untuk Kepala Dusun telah merepotkan aparat desa. Pejabat sementara Kepala Dusun terpaksa dilengserkan oleh warga akibat pembagian beras ke warga yang terlalu banyak ‘sunatan’nya. Maka pemerintah harus menetukan sendiri jagonya. Seorang ibu asal Dusun Layar yang sangat aktif dalam kegiatan PKK di kelurahan, bersedia mencalonkan diri sebagai calon tunggal. Namun masyarakat tidak setuju, karena dianggap sebagai penghianat perjuangan dusun asalnya.
Kemudian warga melakukan aksi ‘teror mental’ yaitu pada saat keluarga calon kepala dusun itu mengadakan hajatan menikahkan anaknya, seluruh warga tetap mendukung dan membantu proses hajatan tersebut. Tetapi, 50 orang warga sepakat untuk menyumbang hanya Rp. 500, jauh dibandingkan dengan sebagaimana layaknya orang yang menyumbang di dusun itu, yaitu berkisar antara Rp. 7.500 - Rp. 10.000. Tiga hari sesudah itu, terdengar bahwa calon tunggal tersebut mengundurkan diri dan masyarakat kembali menerima pejabat sementara Kepala Dusun yang digantikan oleh Carik (Sekretaris Desa). Masyarakat secara kompromis mau menerima, namun sekaligus memberikan tuntutan akan kebenaran pejabat sementara sebelumnya yang telah merugikan warga karena telah menyunat beras jatah rakyat, selain mereka kembali menyuarakan tuntutan awal dan pokok mereka: tanah lungguh Kepala Dusun!.
Daftar Dan Kronologis Perlawanan Rakyat Dusun Layar Serta Hasilnya
Bentuk Perlawanan (Tahun) Hasil Materi
Melawan Hegemoni PERHUTANI (sebelum 1986)







Awal Perlawanan (1986)


Aksi Menipu Dan Boikot
(1987-1988)






Jatuhnya Tanah Ke Makelar (1989-1992)




Menyiasati Bantuan (1991-1994)




Melawan Makelar Desa (1995)






Melawan Ketidakadilan (1997)



Lengsernya Kepala Dusun (1998-sekarang)

Sanksi Sosial (1999)








Perlawanan mereka telah membawa hasil berupa tanaman-tanaman yang mereka hasilkan di pekarangan-pekarangan.
Jika diuangkan, hasil penjualan tanaman pohon jati tersebut selama 10 tahun terakhir mencapai Rp 10 juta per KK, atau untuk keseluruhan rumah tangga (87 KK) mencapai Rp 87 juta.

Tidak ada hasil, kecuali pelampiasan emosional sesaat.

Dari kambing 10 ekor, dibelikan sapi (tetapi kemudian mati). Sisa 46 ekor kambing dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pembayaran SPP anak-anak mereka (@Rp 150.000), sehingga total penipuan Rp 6.750.000 (dilaporkan ke Pengurus bahwa kambing terkena scabies).

Tidak megeluarkan tenaga untuk menanam petai, masing-masing rumah tangga 3 kubangan tanam dengan anggota 25 rumah tangga yang direncanakan memperoleh bantuan.

Bantuan pupuk yang seharusnya hanya menerima 5 ton, karena penggandaan kelompok, mendapatkan 10 ton pupuk berbagai jenis.

1 hektar tanah dari desa disewa oleh makelar dengan harga Rp 800.000. Setelah disewakan ke petani-petani miskin dalam bagian-bagian kecil, penerimaan makelar mencapai Rp 1.500.000, sehingga keuntungan mereka mencapai Rp 700.000

2 proyek dusun, berupa gorong-gorong dan perbaikan Balai Dusun, ditambah dengan iuran dusun sekitar Rp 300.000

Kasus belum selesai


Kepuasan atas perjuangan dan jika dihitung sebagaimana layaknya orang menyumbang (biasanya Rp 7.500), terjadi penghematan Rp 7.000 x 50 orang = Rp 350.000







PEMBAHASAN DAN ANALISIS

Gerakan-gerakan radikal petani, yang sebagian besarnya bersifat lokal dan insidental, selalu didominasi oleh kaum bangsawan, elit kota berpendidikan, elit pedesaan, Guru dan ulama, bahkan sangat sedikit petani yang terlibat. Rendahnya keterlibatan petani dalam berbagai dinamika pertarungan ini, bukan mereka apolitis, tetapi lebih merupakan sikap apriori terhadap kaum bangsawan, elit desa-kota dan juga partai politik yang selalu memberikan janji-janji perubahan. Dan yang menyedihkan, nasib petani selalu terlupakan dan tak berkesudahan penderitaannya. Malah, pertemuan mereka dengan sejumlah aktivis tidak jarang mendapat kecaman dan teror dari aparatus kolonial dan rezim otoritarian di masa sesudah kemerdekaan, terlebih selama rezim orde baru. Scott mempertegas bahwa :
“Kenyataannya ialah gerakan-gerakan radikal, pemberontakan petani, apalagi revolusi petani sangat jarang terjadi dan langka. Tidak hanya situasi dan kondisi yang menguntungkan, pemberontakan petani pada skala besar secara komparatif juga langka, tetapi apabila muncul, pemberontakan itu selalu mengalami penggilasan tanpa proses. Meskipun kegagalan ini bukan berarti tak bermakna, karena menghasilkan beberapa konsensi dari pemerintah dan tuan tanah, sedikit penundaan dari hubungan-hubungan produksi baru yang menyakitkan. Dan paling tidak, satu memori perlawanan dan keberanian yang mungkin menunggu di hari depan. Namun keuntungan-keuntungan seperti itu tidaklah pasti, sementara pembantaian terlalu pasti dan nyata…. Penekanan petani pada gerakan-gerakan radikal dan pemberontakan tidak pada tempatnya. Bagi kaum tani yang berpencar di seluruh pedesaan dan menghadapi rintangan-rintangan yang lebih berat dari tindakan kolektif yang teratur (dan sering represif), maka yang tampak adalah perlawanan keseharian mereka berupa senjata-senjata biasa yang dimiliki kelompok-kelompok tanpa kekuatan : menghambat, berpura-pura, menurut, mencopet, pura-pura tidak tahu, memfitnah, pembakaran-pembakaran, sabotase, dsb.”
Perlawanan petani sehari-hari adalah perjuangan panjang dengan dinamika naik turun sejalan dengan menguatnya pertentangan antara kenyataan hidup petani, himpitan struktural/vertikal dan kekerasan pembangunan di tingkat lokal, regional, nasional,maupun internasional. Namun, pada sisi lain denyut ketegangannya menjadi luar biasa. Berlangsung bersama maki-maki dan kecaman yang tak berkesudahan. Bak pertarungan bebas tanpa henti, tanpa publikasi, tanpa kendali, kecuali koridor nilai-nilai sosial, harmoni, sopan santun, dan kemanusiaan yang sering kali menjaga perlawanan itu tidak frontal. Tetapi mungkin juga terabaikan, hingga wujudnya menjadi konflik terbuka, bahkan penghakiman massa sebagai wujud kemarahan.
Bentuk-bentuk perlawanan dan rangkaian perjuangan jangka panjang petani-petani di “dusun Layar”, “desa Kebunsaur” selama lima belas tahun terakhir, dengan senjata-senjata resistensi “biasa” saat situasi bertahan pada tingkat subsistensi, dari perlawanan dengan bahasa-bahasa simbol, menipu sampai pada mereforma sendiri secara damai sumber-sumber agraria, khususnya tanah kas desa.
Tentu saja, gerakan yang terakhir harus dicari persoalan dan faktor-faktor yang menyebabkannya. Karena menurut Scott (1985:292) gerakan perlawanan sehari-hari memiliki sifat Epifenomenal yang tak terorganisir, dengan pamrih, bersifat untung-untungan, tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner, maksud dan logikanya menyesuaikan diri dengan sistem domianasi yang ada. Di Dusun Layar, bentuk perlawanan terakhir semacam tiu merupakan hasil kesepakatan di tingkat kelompok tani. Kemudian mereka menyepakati semacam ‘iuran anggoat’ untuk penguasaan sumber-sumber agraria setempat, bahkan mereka seringkali melakukan perlawanan yang terpaksa frontal atas dasar konsensus bersama. Ciri-ciri perlawanan yang sungguh-sungguh adalah:
a. Sifatnya yang terorganisir.
b. Berprinsip
c. Mempunyai akibat revolusioner
d. Bertujuan meniadakan dominasi
Namun mereka juga memiliki model perlawanan yang bahkan terorganisir dengan tujuan-tujuan bersama yang jelas dinyatakan dan transparan, sesekali sembunyi-sembunyi dalam bahasa yang sama dan serentak. Masing-masing perlawanan oleh masyarakat dijalankan dengan sifatnya yang kondisional dan terukur dengan ketegangan yang mampu mereka tanggung, tergantung situasinya.
Perlawanan sehari-hari bukan sekedar tekad dan ideology bagi petani. Resistensi semacam itu adalah kemenangan bagi petani, karena hasilnya pelan namun pasti (baik secara psikologis ataupun materi), daripada bentuk perlawanan frontal yang mungkin justru membuat posisi mereka semakin sulit.
Tentu saja tidak semua perlawanan petani akan menghasilkan materi secara menguntungkan, tetapi secara psikologis akan memberikan kepuasan batin, harga diri dan meringankan beban masyarakat. Sehingga tidak sejalan dengan perlawanan sehari-hari yang biasa dikedepankan bahwa mereka serba tunduk, patuh, sekedar menerima dan mencari jaminan dari tuan patronnya, orang-orang miskin di sini didorong untuk menjadi orang yang agresif dalam usaha. Secara mengejutkan berbagai kesepakatan dilakukan untuk menjalankan siasat-siasat perlawanan ini. Sehingga mereka sering kali berhasil dalam pencarian akan kebebasan dari patronnya. Tetapi proses dinamis perlawanan mereka dari sembunyi-sembunyi atau simbolik, frontal (berani menekan), kompromis, kembali sembunyi-sembunyi, dst.
Merupakan dinamika yang menarik dalam siasat perlawanan menuju kemungkinan kemenangan ‘Warga Dusun Layar’. Tentu saja perlawanan sehari-hari yang demikian sangat identik dengan perlawanan ala brechtian yang digambarkan Scott mengenai “bekerja dalam system dengan kerugian sedikit mungkin” dimana:
……..petani secara paradoksal menjadi paling efektif kalau melakukan perlawanan tanpa protes. Jika dengan menghindarkan dan mencuri dapat mengurangi beban pajak resmi atas hasil panennya katakanlah 40% cara ini hampir sama saja hasilnya dengan cara-cara berbahaya dengan menuntut keringanan pajak. Jika dengan menghuni tanah secara liar mereka bias mendaptkan hak-hak pemilikan de facto, hasilnya kira-kira sama dengan tanah dan tanamannya. Tujuan petani umumnya bukanlah mengubah dan menumbangkan suatu sistem dominan, melainkan untuk bertahan hidup hari ini, minggu ini, dan musim ini……
Dengan demikian menunjukkan persoalan tersendiri pada Dusun layar. Apakah teknik-teknik itu akan memberikan kemampuan dan ketahanan bagi perlawanan sehari-hari yang dirasa lebih menguntungkan ketimbang perlawanan frontal?. Ataukah perlawanan yang sekali-kali frontal, terkoordinasi, bahkan terorganisir, akan lebih melelahkan dan memperburuk situasi keadaan masyarakat dusun ini.

MODEL PERLAWANAN (Sembunyi-sembunyi, kompromis, dan frontal).
Dari fenomena Dusun Layar ada beberapa hal yang penting untuk diamati, yakni teknik-teknik perlawanan, perubahan pengelolaan perlawanan (dari tak berpola menjadi terorganisir), penguatan kebutuhan ekonomi, subsistensi, atau hasil perlaawanan, perubahan dominasi (dari memperkuat dominasi atau meniadakan dominasi). Hal ini penting untuk mengevaluasi efektivitas suatu perlawanan dan ketahanan. Dari sisni dapat diidentifikasi pola-pola perlawanan masyarakat petani antara lain :
- Pola A adalah perlawanan tersembunyi (mencuri), hasil tinggi (bermanfaat dikemudian hari) tetapi tidak merubah kelas dominan (karena memang tujuannya bukan itu)
- Pola B dengan karakteristik frontal, hasil rendah dan justru memperkuat dominasi aparat. “Pemanggilan sejumlah tokoh yang bermuara pada pelabelan tertentu (antek PKI,dll) harus diterima tanpa hasil memuaskan dan berbagai akibat sampingan kurang terperhatikan, terkucilkan dan tidak teralokasikannya sejumlah anggaran dari pemerintah ke dusun.
- Pola C dengan karaktreristik tersambunyi dan memboikot tidak mengembalikan pinjaman, hasil secara ekonomis tinggi dan bahkan mampu meniadakan peran pengurus kelompok dan aparat dusun yang dominant dalam mengambil keputusan.
- Pola D perlawanan frontal untuk merformasi tanah kas desa, terorganisir, hasilnya mengecewakan dan memperkuat dominasi aparat desa serta makelar tanah. Dengan mengubah teknik perlawanan lebih kompromis terhadap dominasi, terkoordnasi, menyewa lahan kas desa, hubungan dominasi aparat dan masyarakat tidak tegang dan konfliktual, hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat, berupa lahan yang dikerjakan subur dan dapat memanfaatkan surplus sewa utnuk kegiatan dan pendukung proses ekonomi.
- Pola E, dengan menuntut tanah lungguh secara frontal, terkoordinasi menghasilkan ketegangan dan konfli yang memperkuat dominasi dan interfensi aparat semakin menjadi-jadi, bahkan ancaman yang terakhir jika tidak segera memilih kepala dusun, dusun ini akan digabung dengan dusun lain. Intervensi aparat dengan menggunakan orang-orang dusun yang pro aparat menjadi sumber perpecahan.
- Pola F, menarik dilihat karena perlawanan frontal, terorganisir, dengan hasil yang tinggi dan dana dari mereka sendiri, ketegangan dengan aparat hamper tidak ada atau tidak memperkuat dominasi, bahkan cara ini berhasil memulangkan uang iuran untuk kepentingan dusun. Dusun berhasil menerima kembali dana mereka lebih besar dari pada dusun-dusun lain.
- Pola G, kembali ke pola-pola perlawanan sebelumnya, dengan sembunyi-sembunyi, terkoordinasi, hasil secara ekonomi besar bagi masyarakat dan tidak menimbulkan kekuatan yang dominant (sekedar mengurangi dan menghambat proses dominasi).
Pola-pola di atas memberikan gambaran menarik yang sejalan dengan apa yang dikemukakan Scott bahwa :
“Perlawanan petani sehari-hari yang bersifat sembunyi-sembunyi, tidak melawan, menipu, mencuri, lebih memberikan hasil memadai bagi kebutuhan subsistensinya baik langsung maupun tidak langsung dan mampu meruntuhkan kelompok-kelompok kelas dominan desa yang berkuasa. Cara-cara kompromis dengan pola dan nilai kelas yang ada dengan siasat perlawanan sehari-hari lebih menguntungkan baik secara materi maupun pengurangan hubungan dominasi patron terhadap klien. Persoalan terorganisir/terorganisasi, tidak harus menjadi perdebatan yang serius, karena kedua-duanya mampu memberikan hasil yang memadai.
Namun pengalaman Dusun Layar, perlawanan frontal lebih banyak menghasilkan ketegangan-ketegangan baru yang tidak jarang mengundang intervensi dari aparat desa dari pemberian label sampai pencalonan kepala dusun dilakukan aparat sendiri dan ancaman lainnya. Terakhir ini tidak jarang mampu memecah belah masyarakat dusun karena tokoh yang dicalonkanpun sering memiliki pendukung pula. Cara frontal dan terorganisir mereka lakukan, memang tercatat pernah menghasilkan keuntungan, tetapi tak lebih dari sekedar kasus, akankah mereka memperoleh kemenangan, jika perlawanan tanah lungguh terus dilakukan.



SIMPULAN DAN SARAN

Perlawanan masyarakat dusun Layar belum berakhir, perjuangan untuk merebut tanah lungguh kepala dusun masih menyimpan sebuah tanda Tanya yang besar seandainya tanah lungguh kepala dusun disetujui, penambahan luas dan pemindahan ke lokasi yang lebih subur, kira-kira apa yang kenudian akan dilakukan oleh warga dusun Layar?.
Sejumlah warga melakukan spekulasi yang cermat bahwa ada tiga kemungkinan yang terjadi.
- Masyarakat melakukan pertemuan dan memutuskan seorang calon secara musyawarah dan mufakat, kemudian disetujui aparat desa atau seandainya tidak setuju, akan dipilih yang lain dengan cara yang sama, maka persoalan yang ada kemungkinan besar terselesaikan.
- Sejumlah warga mencalonkan dan dibuka kepada masyarakat, kemudian pemilihan dilakukan secara jujur tanpa intervensi dari aparat desa. Kemudian siapapun yang terpilih harus didukung oleh masyarakat maupun pemerintah.
- Persoalan akan semakin genting ketika sejumlah masyarakat terutama tokohnya, mengklaim bahwa ini adalah keberhasilan perjuangannya, sehingga menghasilkan banyak bursa calon, pemilihan akan disibukkan dengan perebutan massa, penyuapan kepada aparat desa akan kembali sebagaimana kasus-kasus sebelumnya.
Menurut masyarakat spekulasi ketiga sangat mungkin terjadi karena sebagian tokoh masyarakat sangat antusias untuk memperjuangkan hal tersebut, kepemilikan lahan yang rendah pada dusun ini juga akan mendorong banyak tokoh dan masyarakat berebut jabatan kepala dusun, intervensi aparat desa, kecamatan untuk mendapatkan keuntungan dari penyuapan masih merupakan kebiasaan yang terjadi, dan tokoh-tokoh masyarakat dusun Layar banyak yang memiliki kebiasaan buruk tersebut.
Jika demikian ide-ide Scott :
bahwa perlawanan tanpa protes, tanpa terorganisir, dan tanpa kekerasan akan memilik relevansi karena memang didasari oleh pamrih, semua atau sebagian melakukan. Artinya distribusi hasilnya di tangan masing-masing atau semua menikmati untung-untungan (sangat fleksibel tujuannya dan tidak revolusioner).
Tetapi akhir kemenangan tanah lungguh bisa awal dari keruntuhan-keruntuhan perlawanan terorganisir. Scott menambahkan bahwa :
“Persoalan pembagian kemenangan atau keberhasilan adalah bagian dari persoalan nyata organisasi pada tingkat apapun. Sekali pemimpin-pemimpin organisasi (koordinator) ataupun tergoda untuk menjadi penguasa dan mengauasai sumber daya, maka merupakan ancaman yang jelas di depan mata. Dan jika mereka atau pun anggotanya tergiur dan lalai akan pamrihnya yang dominant. Maka disinilah awal kehancuran dari perlawanan yang terkoorganisir, karena sifatnya yang berprinsip. Bahkan penghianatan para pengurus atau seorang anggota akan berakibat lebih revolusioner daripada tindakan mereka yang revolutif atau frontal (akan terjadi pergeseran dan menghasilkan dominasi baru dari dominasi yang hendak ditiadakan).”
Dengan demikian masyarakat dusun Layar akan kembali menghadapi persoalan-persoalan dominasi yang biasa mereka hadapi sebelumnya. Sejarah perlawanan Dusun Layar setelah terorganisir akan tergantung pada control-kontrol dan pengawasan yang serius oleh rakyat sendiri. Jika ini gagal maka ‘Layar’ adalah dusun yang terpuruk dan kembali terjajah oleh dirinya sendiri di kemudian hari, dominasi baru dan penguatan patron klien akan menghantui mereka. Tetntu saja kebenarannya tergantung dari kearifan dan peran-peran sejarah perjuangan serta usaha mereka sendiri.
Apa yang terjadi di dusun Layar desa Kebunsayur, Wonosari merupakan satu contoh dari sekian kasus hegemoni serta penolakannya oleh masyarakat. Dari kasus ini ada dua hal yang harus digaris bawahi bahwa :
- Suatu kasus hegemonic proses aplikasi serta penolakannya tidak harus dengan gerakan radikal frontal (people power), tetapi ada metode lain yang dapat digunakan sebagai jalur alternative (seperti gerakan perlaanan terselubung yang dilakukan masyarakat dusun Layar). Cara ini tepat bila digunakan pada daerah yang tingkat kemajuan/pendidikannya masih sangat rendah (bukan gerakan yang ingin mengganti sistem pemerintahan birokrat atas).
- Gerakan perlawanan frontal akan sangat efektif bila diterapkan dalam konteks masyarakat global yang maju serta untuk menjatuhkan hegemoni kekuasaan lama.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Penulisan ilmiah mohon menyebutkan sumbernya, karena tulisan ini adalah tulisan penulis lain yang dimuat di jurnal wacana.

At a Glance

Check Page Rank of any web site pages instantly:
  
This free page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service

Pengikut

Meteran

sing moco

Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger templates

Welcome to Awalxander's Kingdom

Free Guestbook
My Guestbook

Awak Ndepor

Foto Saya
Awal Age Permadi
Lihat profil lengkapku