Rabu, 02 September 2009

surabaya cagar budaya






BAB I
PENDAHULUAN

Surabaya sebagai ibukota Jawa Timur memang tidak hanya dikenal sebagai kota terbesar kedua dan kota pelabuhan terbesar kedua di Indonesia. Surabaya juga merupakan salah satu kota tertua di Indonesia dengan usia sekitar 712 tahun. Julukan yang paling terkenal bagi kota ini adalah Kota Pahlawan karena keberanian arek-arek Suroboyo dalam berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan pada akhir Perang Dunia II.
Kini, Surabaya adalah kota budaya, pendidikan, pariwisata, maritim, industri dan perdagangan yang mengalami perkembangan pesat. Surabaya memiliki masyarakat yang multi etnis, berbagai perguruan tinggi terkemuka, dan obyek-obyek pariwisata yang menarik. Di kota yang besar dan dinamis ini banyak suku bangsa tinggal. Meskipun suku Jawa yang dominan, suku-suku lain juga ikut mewarnai kota ini. Misalkan tentu saja suku Madura, suku Tionghoa dan suku Arab. Bahkan di kota ini ada pula komunitas Yahudi. Mereka memiliki sebuah sinagoga. Di kota ini juga ada pelabuhan laut, pangkalan Armada TNI-AL, Akademi Angkatan Laut (AAL), kawasan industri dan pusat-pusat perbelanjaan. Surabaya juga telah menjalin kerja sama sister city dengan tiga kota di dunia, yaitu Busan (Korea Selatan), Kochi (Jepang) dan Seattle (USA).
Dalam usianya yang cukup tua, Surabaya banyak memiliki warisan kota yang dilindungi melalui peraturan daerah maupun keputusan walikota. Di kota ini, banyak ditemui tempat-tempat bersejarah yang memiliki koleksi benda-benda cagar budaya. Cagar budaya sendiri dapat berupa benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun. Bisa juga mewakili masa gaya yang khas dan mewakili gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Benda penting yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan juga bisa dikategorikan sebagai benda cagar budaya.
Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, sejarah masa lalu kota Surabaya masih banyak diliputi kabut. Bapak Walikota Surabaya Suparno waktu itu (tahun 1975), membuat keputusan untuk menjadikan tanggal 31 Mei 1293 sebagai tanggal lahir (hari jadi) kota Surabaya. Keputusan tersebut dituangkan dalam SK No. 64/WK/75. Sejak saat itulah hari ulang tahun kota Surabaya dirayakan setiap tanggal 31 Mei.
Catatan tentang kota Surabaya mulai menjadi jelas setelah jatuh ke tangan VOC, akibat perjanjian antara Paku Buwono II dari Mataram dan pihak VOC, pada tanggal 11 November 1743. Dalam perjanjian tersebut sebagian daerah pantai Utara (termasuk di antaranya Surabaya), diserahkan penguasaannya kepada VOC. Sejak saat itulah Surabaya berada sepenuhnya dalam kekuasaan Belanda.
Sampai tahun 1900-an, perkembangan kota Surabaya sangat lambat. Tidak ada lembaga pemerintahan yang khusus mengurusi pengembangan kota. Surabaya berstatus sebagai ibukota Karesidenan Surabaya. Gedung pusat pemerintahan Karesidenan Surabaya berada di mulut sebelah Barat Jembatan Merah. Jembatan inilah yang membatasi permukiman orang Eropa (Europeesche Wijk) waktu itu, yang ada disebelah Barat Jembatan dengan tempat permukiman orang Cina, Melayu, Arab dan sebagainya (Vremde Oosterlingen), yang ada disebelah Timur jembatan tersebut. Sampai tahun 1900-an pusat kota Surabaya hanya berkisar di sekitar Jembatan Merah saja.
Baru setelah kota Surabaya ditetapkan sebagai Kotamadya (Gemeente) pada tahun 1905, secara perlahan tapi pasti kota berkembang kearah Selatan. Dalam waktu singkat sampai tahun 1920-an tumbuh pemukiman baru seperti daerah: Darmo, Gubeng, Sawahan, Ketabang dan sebagainya. Pada tahun 1926, Surabaya ditetapkan sebagai ibu kota provinsi Jawa Timur. Setelah itu Surabaya tumbuh terus menjadi kota modern terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta.
Pada tahun 1942 sampai tahun 1945, kota Surabaya ada di bawah penguasaan Jepang. Pada masa penjajahan Jepang selama 3 tahun tersebut, keadaan kota boleh dikatakan tidak mengalami perkembangan sama sekali. Setelah kemerdekaan tahun 1945, Surabaya yang dijuluki sebagai kota Pahlawan, karena kegigihan rakyatnya untuk membela kemerdekaan tersebut, terus berkembang. Dari kota yang berstatus gemeente menjadi Kota Besar pada tahun 1950-an, kemudian berubah menjadi Kotapraja dan akhirnya menjadi Kotamadya.
Kota yang jalan utamanya dulu hampir berbentuk seperti pita dari jembatan Wonokromo di sebelah Selatan menuju ke Jembatan Merah di sebelah Utara sepanjang kurang lebih 13 Km tersebut, di akhir tahun 1980-an mulai berubah total. Pertambahan penduduk dan urbanisasi yang pesat, memaksa Surabaya untuk berkembang ke arah Timur dan Barat seperti yang kita lihat sekarang. Bertambahnya kendaraan bermotor, tumbuhnya industri baru serta menjamurnya perumahan yang dikerjakan oleh perusahaan real estat yang menempati pinggiran kota mengakibatkan tidak saja terjadi kemacetan di tengah kota tapi juga tidak jarang kita jumpai pula di pinggiran kota. Demikianlah perkembangan kota Surabaya seperti yang kita lihat sekarang. Dari kota yang relatif kecil di akhir abad ke-19, menjadi kota metropolitan di akhir abad ke-20.















BAB II
SEJARAH KOTA SURABAYA

1. Asal Kata "Surabaya" dan Simbol "Sura dan Baya"
Bukti sejarah menunjukkan bahwa Surabaya sudah ada jauh sebelum zaman kolonial, seperti yang tercantum dalam prasasti Trowulan I, berangka 1358 M. Dalam prasati tersebut terungkap bahwa Surabaya (churabhaya) masih berupa desa ditepian sungai Brantas sebagai salah satu tempat penyeberangan penting sepanjang sungai Brantas.
Surabaya (Surabhaya) juga tercantum dalam pujasastra Negara Kertagama yang ditulis oleh Prapanca tentang perjalanan pesiar baginda Hayam Wuruk pada tahun 1365 M dalam pupuh XVII (bait ke-5, baris terakhir).
Walaupun bukti tertulis tertua mencantumkan nama Surabaya berangka tahun 1358 M (prasasti Trowulan) & 1365 M (Negara Kertagama), para ahli menduga bahwa Surabaya sudah ada sebelum tahun-tahun tersebut.
Menurut hipotesis Von Faber, Surabaya didirikan tahun 1275 M oleh Raja Kertanegara sebagai tempat pemukiman baru bagi prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 M. Hipotesis yang lain mengatakan bahwa Surabaya dulu bernama Ujung Galuh.
Versi lain mengatakan bahwa nama Surabaya berasal dari cerita tentang perkelahian hidup dan mati Adipati Jayengrono dan Sawunggaling. Konon setelah mengalahkan tentara Tartar, Raden Wijaya mendirikan sebuah kraton di Ujunggaluh, dan menempatkan Adipati Jayengrono untuk memimpin daerah itu. Lama-lama karena menguasai ilmu Buaya, Jayengrono makin kuat dan mandiri sehingga mengancam kedaulatan Majapahit. Untuk menaklukkan Jayengrono diutuslah Sawunggaling yang menguasai ilmu Sura. Adu kesaktian dilakukan di pinggir Sungai Kalimas dekat Paneleh. Perkelahian adu kesaktian itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dan berakhir dengan tragis, karena keduanya meninggal kehabisan tenaga.
Kata "Surabaya" juga sering diartikan secara filosofis sebagai lambang perjuangan antara darat dan air, antara tanah dan air. Selain itu, dari kata Surabaya juga muncul mitos pertempuran antara ikan Suro (Sura) dan Boyo (Baya atau Buaya), yang menimbulkan dugaan bahwa nama Surabaya muncul setelah terjadinya peperangan antara ikan Sura dan Buaya (Baya).
Supaya tidak menimbulkan kesimpang-siuran dalam masyarakat maka Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya, dijabat oleh Bapak Soeparno, mengeluarkan Surat Keputusan No. 64/WK/75 tentang penetapan hari jadi kota Surabaya. Surat Keputusan tersebut menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai tanggal hari jadi kota Surabaya. Tanggal tersebut ditetapkan atas kesepakatan sekelompok sejarawan yang dibentuk oleh pemerintah kota bahwa nama Surabaya berasal dari kata "sura ing bhaya" yang berarti "keberanian menghadapi bahaya" diambil dari babak dikalahkannya pasukan Mongol oleh pasukan Jawa pimpinan Raden Wijaya pada tanggal 31 Mei 1293.
Tentang simbol kota Surabaya yang berupa ikan sura dan buaya terdapat banyak sekali cerita. Salah satu yang terkenal tentang pertarungan ikan sura dan buaya diceritakan oleh LCR. Breeman, seorang pimpinan Nutspaarbank di Surabaya pada tahun 1918.
Masih banyak cerita lain tentang makna dan semangat Surabaya. Semuanya mengilhami pembuatan lambang-lambang Kota Surabaya. Lambang Kota Surabaya yang berlaku sampai saat ini ditetapkan oleh DPRS Kota Besar Surabaya dengan Putusan no. 34/DPRDS tanggal 19 Juni 1955, diperkuat dengan Keputusan Presiden R.I. No. 193 tahun 1956 tanggal 14 Desember 1956 yang isinya :
1. Lambang berbentuk perisai segi enam yang distilir (gesty leerd), yang maksudnya melindungi Kota Besar Surabaya.
2. Lukisan Tugu Pahlawan melambangkan kepahlawanan putera-puteri Surabaya dalam mempertahankan Kemerdekaan melawan kaum penjajah.
3. Lukisan ikan Sura dan Baya yang berarti Sura Ing Baya melambangkan sifat keberanian putera-puteri Surabaya yang tidak gentar menghadapi sesuatu bahaya.
4. Warna-warna biru, hitam, perak (putih) dan emas (kuning) dibuat sejernih dan secermelang mungkin, agar dengan demikian dihasilkan suatu lambang yang memuaskan.

Sumber :
 Handinoto, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940, Andi, Yogyakarta, 1996
 Website lama

2. Periode 1300 (Majapahit/Hindu)
Menurut hipotesis Von Faber, Surabaya didirikan tahun 1275 M oleh Raja Kertanegara sebagai tempat pemukiman baru bagi prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 M. Hipotesis yang lain mengatakan bahwa Surabaya dulu bernama Ujung Galuh.
Pada tanggal 31 Mei 1293 Raden Wijaya (Pendiri Kerajaan Majapahit) dengan keberanian dan semangat dan jiwa kepahlawanan berhasil menghancurkan dan mengusir tentara Tar-Tar, pasukan kaisar Mongolia dari bumi Majapahit. Tentara Tar-Tar meninggalkan Majapahit melalui Ujung galuh, sebuah desa yang terletak di ujung utara Utara Surabaya, di muara Kali Mas.
Dalam prasasti Trowulan I, berangka 1358 M terungkap bahwa Surabaya (churabhaya) masih berupa desa ditepian sungai Brantas sebagai salah satu tempat penyeberangan penting sepanjang sungai Brantas.
Dari tahun 1483-1542 Surabaya merupakan bagian dari wilayah kerajaan Demak. Sesudah itu kurang lebih 30 tahun Surabaya ada di bawah kekuasaan supremasi Madura. dan antara 1570 sampai 1587 Surabaya ada di bawah dinasti Pajang.
Pada tahun 1596, orang Belanda pertama kali datang ke Jawa Timur di bawah pimpinan Cornelis Houtman.

Sumber :
 Handinoto, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940, Andi, Yogyakarta, 1996
 Surabaya Now And Future, 2003

3. Periode 1600 (Islam)
Pada tahun 1612 Surabaya sudah merupakan bandar perdagangan yang ramai. Banyak pedagang Portugis membeli rempah-rempah dari pedagang pribumi. Pedagang pribumi membeli rempah-rempah secara sembunyi-sembunyi dari Banda, meskipun telah ada persetujuan dengan VOC yang melarang orang-orang Banda berdagang untuk kepentingannya sendiri.
Setelah tahun 1625 Surabaya jatuh ke tangan kerajaan Mataram. Setelah takluk dari kerajaan Mataram, tahun 1967 Surabaya mengalami kekacauan akibat serangan para bajak laut yang berasal dari Makasar. Pada saat keadaan tidak menentu inilah muncul nama Trunojoyo, seorang pangeran dari Mataram dari suku Madura, yang memberontak terhadap Raja Mataram. Dengan pertolongan orang-orang Makasar Trunojoyo berhasil menguasai Madura dan Surabaya.
Di bawah kekuasaan Trunojoyo, Surabaya menjadi pelabuhan transit dan tempat penimbunan barang-barang dari daerah subur, yaitu delta Brantas. Kalimas menjadi "sungai emas" yang membawa barang-barang berharga dari pedalaman.

Dengan alasan ingin membantu Mataram, pada tahun 1677 Kompeni mengirim Cornelis Speelman yang dilengkapi dengan angkatan perang yang besar ke Surabaya. Benteng Trunojoyo akhirnya dapat dikuasai Speelman. Kemudian Gubernur Jenderal Couper mengembalikan Surabaya kepada Mataram.
Pada abad 18, tahun 1706, Surabaya menjadi ajang pertempuran antara Kompeni dibawah pimpinan Govert Knol dan Untung Surapati.
Setelah peperangan terus menerus, tanggal 11 Nopember 1743 Paku Buwono II dari kerajaan Mataram dan Gubernur Jenderal Van Imhoff di Surakarta menanda-tangani sebuah persetujuan yang menyatakan bahwa ia menyerahkan haknya atas pantai utara Pulau Jawa dan Madura (termasuk diantaranya di Surabaya) kepada pihak VOC yang telah memberikan bantuan hingga ia berhasil naik tahta di kerajaan Mataram.Tetapi pasukan Hindia Belanda baru mengunjungi Surabaya pada tanggal 11-April-1746.
VOC mendirikan struktur pemerintahan baru di daerah pantai utara Pulau Jawa dan Madura dengan kedudukan gubernur di Semarang. Di Surabaya diangkat seorang Gezaghebber in den Oostthoek (Penguasa Bagian Timur Pulau Jawa).
Antara Tahun 1794-1798 Penguasa Bagian Timur Pulau Jawa adalah Dirk van Hogendorp. Pada tanggal 6 September 1799, Fredrick Jacob Rothenbuhler menggantikan Van Hogendorp berkuasa sampai tahun 1809. Pada tahun 1807 Surabaya mendapat Serangan dari angkatan laut Inggris di bawah pimpinan Admiral Pillow yang akhirnya meninggalkan Surabaya.
Setelah kebangkrutan VOC, Hindia Belanda diserahkan kepada Pemerintah Belanda. Tahun 1808-1811 Surabaya di bawah pemerintahan langsung Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang menjadikan Surabaya sebagai kota Eropa kecil. Surabaya dibangun menjadi kota dagang sekaligus kota benteng.

Tahun 1811-1816 Surabaya berada dibawah kekuasaan Inggris yang dijabat oleh Raffles. Tahun 1813 Surabaya menjadi sebuah kota yang dapat dibanggakan, sampai-sampai William Thorn dalam buku Memoir of Conguest of Java berpendapat bahwa Kota Gresik (pada masa sebelumnya menjadi kota pelabuhan yang ramai) sudah menjadi kuno bila dibandingkan dengan Surabaya.
Setelah itu Surabaya kembali dikuasai Belanda. Tahun 1830-1850, Surabaya betul-betul berbentuk sebagai kota benteng dengan benteng Prins Hendrik ada di muara Kalimas. Pada tahun 1870, Surabaya terus berkembang ke selatan menjadi kota modern.

Sumber :
 Handinoto, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940, Andi, Yogyakarta, 1996

4. Periode 1900
Tanggal 1 April 1906 Surabaya ditetapkan sebagai kotamadya (gemeente) berdasarkan peraturan 1 Maret 1906. Sejak saat itu semua pemerintahan dijalankan oleh Dewan Kota (Gemeente Raad), dibawah pimpinan Asisten Residen AR. Lutter yang merangkap sebagai walikota sementara.

Sumber :
 Handinoto, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940, Andi, Yogyakarta, 1996

5. Periode Penjajahan Jepang
Pada tahun 1942 sampai tahun 1945, kota Surabaya ada dibawah penguasaan Jepang. Pada masa penjajahan Jepang selama 3 tahun tersebut, keadaan kota boleh dikatakan tidak mengalami perkembangan sama sekali.

Sumber :
 Handinoto, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940, Andi, Yogyakarta, 1996

6. Periode Perang Kemerdekaan
Proklamasi 17 Agustus 1945 membakar semangat arek-arek Surabaya untuk melawan penjajah, hingga terjadilah Surabaya Inferno yang mengguggah bangsa tertindas bangkit melawan penjajah.
Pada hari Senin, 3 September 1945 Residen Soedirman memproklamasikan Pemerintahan RI di Jawa Timur dan di sambut aksi pengibaran bendera di seluruh pelosok Surabaya. Pesawat terbang Belanda menyebarkan pamflet pengumuman bahwa Sekutu/Belanda akan mendarat di Surabaya yang menyebabkan orang Belanda dengan sombong mengirbakan bendera Belanda di Orange Hotel pada tanggal 19 September 1945, hal ini menimbulkan kemarahan arek-arek Suroboyo sehingga terjadilah insiden berdarah dengan terbuhuhnya Mr. Ploegman. Merah putih biru dirobek birunya dan berkibarlah Sang Merah Putih dengan megahnya di angkasa.
Tanggal 25 Oktober 1945 tentara Inggris mendarat di Surabaya, brigade ke-49 dengan kekuatan 6.000 serdadu dipimpin Brig. Jend. A.W.S. Mallaby, pasukan berpengalaman dari kancah perang dunia yang terdiri dari pasukan Gurkha dan Nepal dari India Utara. Esok harinya tanggal 26-27 Oktober 1945 beberapa pesawat Inggris menjatuhkan selebaran yang memerintahkan agar penduduk Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan senjata. Tanggal 28 Oktober 1945 terjadilah insiden di seluruh pelosok kota.
Puncaknya tanggal 30-31 Oktober 1945 tentara Inggris meninggalkan Gedung Internatio Brig. Mallaby meninggal, mobilnya meledak terbakar. Tanggal 9 Nopember 1945 ultimatum yang ditandatangani oleh May. Jend. E.S. Masergh Panglima Divisi Tentara Sekutu di Jawa Timur, minta rakyat menyerahkan senjata tanpa syarat sebelum jam 18.00 dan apabila tidak melaksanakan sampai jam 06.00 tanggal 10 Nopember 1945 pagi akan ditindak dengan kekuatan militer Angkatan darat, Laut dan Udara.
Berturut-turut pada jam 21.00 & 23.00 setelah lewat Pemerintah Pusat di Jakarta tidak berhasil merubah pendirian Pimpinan Tentara Inggris untuk mencabut ultimatumnya. Gubernur Soerjo berpidato yang merupakan penegasan, "Lebih baik hancur daripada dijajah kembali". Tanggal 10 Nopember 1945, terjadi pertempuran dahsyat di pelosok kota, perlawanan massal rakyat Surabaya melawan tentara Sekutu, sehingga korban berjatuhan di mana-mana, selama 18 hari Surabaya bagaikan neraka. Dengan hancurnya kubu laskar rakyat di Gunungsari pada tanggal 28 Nopember 1945 menyebabkan sementara seluruh Kota Surabaya jatuh ke tangan Sekutu.
Mengenang kepahlawanan arek-arek Surabaya yang berjuang dengan gagah berani sampai titik darah penghabisan, demi kedaulatan dan tegaknya cita-cita bangsa Indonesia maka dibangun Monumen Tugu Pahlawan yang diresmikan tanggal 10 Nopember 1962 oleh Presiden RI.
Selain itu juga dibangun Monumen Bambu Runcing untuk mengenang semangat arek-arek Suroboyo yang dengan gagah berani melawan penjajah dengan senjata seadanya walaupun hanya dengan sebilah bambu yang ujungnya diruncingkan

Sumber :
 Surabaya Now And Future, 2003









BAB III
GEDUNG, BANGUNAN, MONUMEN DAN STASIUN SEMUT SEBAGAI SALAH SATU
CAGAR BUDAYA DI SURABAYA

“GEDUNG”

1. Balai Kota
Balai Kota, Kantor Pemerintah Kota Surabaya terletak di areal Taman Surya. Gedung yang luas ini terakhir dibangun pada tahun 1923 masa Pemerintahan kolonial Belanda.

Sumber :
 Dinas Pariwisata

2. Gedung Balai Pemuda
Gedung Balai Pemuda, dahulu bernama simpangsche societeit yang di pakai klub oleh orang kulit putih dan dahulu bagi orang pribumi dan anjing dilarang masuk.
Pada bulan November 1945 gedung ini di jadikan Markas Besar PRI Pusat (Pemuda Republik Indonesia) Pusat. Organisasi pemuda ini sering bertindak ekstrim, dan banyak orang Indonesia atau Belanda dituduh mata-mata diinterogasi oleh Bagian Penyelidik PRI di gedung ini.
Pemerintahan Indonesia telah membangun sebuah Balai Kota dengan arsitektur yang lebih modern, yang letaknya berseberangan dengan bangunan lama. Bangunan lama itu sendiri di gunakan oleh Dewan Legislatif Daerah.

Sumber :
 Dinas Pariwisata
3. Gedung Grahadi
Gedung Grahadi adalah gedung negara yang di pergunakan sebagai Rumah Kediaman dan Gedung Pertemuan Gubenur Jawa Timur. Melihat gedung ini mengingatkan kita pada arsitektur masa kolonialis Belanda. Gedung ini dibangun pada tahun 1795 pada masa residen Dirk Van Hogendorp (1794-1798).
Pada mulanya gedung ini menghadap ke kalimas, sehingga pada sore hari penghuninya sambil minum- minum teh dapat melihat perahu-perahu yang menelusuri kali tersebut. Perahu-perahu itu juga di manfaatkan sebagai sarana transportasi, mereka datang dan pergi dengan naik perahu. Dalam perkembangan berikutnya gedung ini dipakai juga untuk tempat sidang (Pengadilan Tinggi), juga dipakai untuk pesta, resepsi dengan berdansa, dan lain-lain. Pada tahun 1802 gedung ini yang semula menghadap utara, diubah letaknya menghadap ke selatan seperti yang dapat kita lihat sekarang.

Sumber :
 Dinas Pariwisata

4. Gedung Internatio
Gedung Internatio, dahulu bernama Internatio Willemplein, setelah pasukan Brig. Jend Mallaby berhasil mendarat di pelabuhan Tanjung Perak pada tanggal 25 Oktober 1945, gedung ini dikuasai oleh pasukan Sekutu. Pada tanggal 28-30 Oktober 1945 gedung ini di kepung oleh pejuang-pejuang Indonesia. Sewaktu berusaha menghentikan tembak menembak tersebut, Brig. Jen. Mallaby tewas terbakar di mobilnya.

Sumber :
 Dinas Pariwisata


5. Jembatan Merah
Jembatan Merah, di sekitar jembatan inilah terjadi pertempuran yang paling seru di pulau Jawa. Pertempuran Surabaya ini mulai berkobar pada tanggal 10 November 1945 tidak sampai tiga bulan setelah kemerdekaan Indonesia di Proklamasikan di Jakarta dan di dalam pertempuran Jembatan Merah inilah Brigjen Mallaby tewas. Tidak jauh dari jembatan merah ini terdapat perkampungan Cina (China Town). Suatu daerah yang dipenuhi dengan bangunan-bangunan yang perkontruksi khas Cina. Daerah ini merupakan pusat perdagangan yang paling padat.

Sumber :
 Dinas Pariwisata

6. Kantor Gubenur
Dahulu gedung ini merupakan pusat kegiatan pemerintah sejak zaman Hindia Belanda, Jepang dan masa Proklamasi. Gedung ini pada bulan Oktober 1945 pernah dijadikan tempat perundingan Presiden Soekarno dengan Jenderal Haowhorn untuk mendamaikan pertempuran yang terjadi antara pasukan Sekutu dengan pemuda - pemuda Surabaya. Dan dari Gedung inilah pada tanggal 9 November 1945 jam 23.00 Gubenur Surya memutuskan menolak ultimatum Jenderal Mansergh yang bersikan agar pejuang-pejuang Surabaya menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu, sehingga terjadilah peristiwa pertempuran pada tanggal 10 November 1945.

Sumber :
 Dinas Pariwisata

7. Hotel Mojopahit Mandarin Oriental
Hotel Mojopahit, ini dahulu bernama LMS. Orange Hotel,Yamato, Hoteru dan menjadi pusat kegiatan orang Eropa dan Belanda untuk mengembalikan kekuasaan Belanda di Surabaya. Pada tanggal 19 September 1945 di hotel ini terjadi Insiden Bendera yaitu perobekan warna biru Bendera Belanda oleh pemuda - pemuda Indonesia agar menjadi bendera Merah Putih yaitu Bendera Republik Indonesia. Peristiwa ini terjadi diakibatkan sekelompok orang Belanda yang dipimpin oleh Mr. Plugeman mengibarkan bendera Merah Putih Biru dipuncak sebelah kanan Hotel. Dalam peristiwa tersebut mengakibatkan terbunuhnya Mr. Plugeman.

Sumber :
 Dinas Pariwisata

8. Gedung Pertamina
Gedung Pertamina, sejak tanggal 25 Oktober 1945 diduduki oleh pasukan Sekutu dibawah pimpinan Kolonel Pugh. Dari gedung inilah Kolonel Pugh mengistruksikan kepada pasukannya agar merampasi senjata pejuang Surabaya dan kendaraan yang ada di kota Surabaya. Akibat instruksi tersebut menimbulkan amarah pejuang Surabaya yang berakhir dengan tewasnya Brigjen Mallaby.

Sumber :
 Dinas Pariwisata

9. Gedung Siola
Gedung Siola, gedung ini dahulu bernama WHITE LAIDLAW. Dari atas gedung inilah dahulu para Pejuang Surabaya menahan serangan Sekutu yang mendarat dari Utara. Akibat pertempuran yang sengit antara pejuang Indonesia dengan pasukan Sekutu, maka pada tanggal 10 November 1945 gedung telah terbakar habis, di bumi hanguskan oleh pejuang- pejuang Surabaya.


Sumber :
 Dinas Pariwisata

10. Taman Budaya Surabaya Cak Durasim
Sesuai dengan Keputusan Gubernur Jatim; No. 41 Tahun 2002, tentang Uraian Tugas dan Fungsi Unit Pelaksana Teknis Dinas P dan K Jatim, maka Tugas Taman Budaya adalah melaksanakan sebagian tugas Dinas di bidang perencanaan, pengelolaan, peningkatan, pengembangan, pendokumentasian dan informasi seni sebagai unsur budaya di propinsi dengan pusat kegiatan di Taman Budaya. Sedangkan fungsinya sebagai penyusunan rencana program, penyelenggaraan pagelaran seni, pertujukan dan pameran seni rupa. Disamping itu juga sebagai pelaksana peningkatan dan pengembangan seni budaya, serta pendokumentasian dan informasi, seni budaya. Fungsi berikutnya sebagai pelaksana tugas-tugas lain yang diberikan kepala Dinas P dan K Jatim

Sumber :
 Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya dan Badan Pusat Statistik Kota Surabaya, Surabaya Dalam Angka 2001, CV. Aneka Surya, 2002, Surabaya.
 Dinas Infokom Propinsi Jawa Timur.

“BANGUNAN & MONUMEN”

1. Monumen Bambu Runcing
Monumen yang berbentuk seperti sekumpulan bambu runcing ini berada di Jalan Panglima Sudirman. Monumen ini merupakan lambang semangat arek-arek Suroboyo di jaman penjajahan. Dimana mereka berjuang melawan penjajah hanya dengan senjata seadanya yaitu bambu runcing. Karena kegigihan dan semgat arek Suroboyo maka kota Surabaya akhirnya bebas dari penjajahan Belanda.

Sumber :
 Dinas Pariwisata

2. Monumen Jenderal Sudirman
Patung Jenderal Sudirman terletak di Jl.Yos Sudarso, menghadap ke Selatan. Jenderal Sudirman adalah seorang pimpinan militer pada masa perang (1945-1949) dan pengabdiannya pada negara mengakibatkan kenangan di seluruh negeri. Oleh karena itu hampir di seluruh kota di Indonesia ada nama Jl. Jenderal Sudirman.

Sumber :
 Dinas Pariwisata

3. Monumen Mayangkara
Merupakan monumen berupa Patung Kuda Mayangkara dengan penunggangnya Let.Kol.R.Djarot Soebijantoro Ex. Komando Kompi Djarot Batalion 503 Mayangkara. Batalion ini berhasil menerobos pertahanan Belanda tanggal 12 Juli 1949 dan berhasil masuk Surabaya.

Sumber :
 Dinas Pariwisata

4. Monumen Soeryo
Merupakan Monumen Patung Gubenur Suryo, yaitu Gubenur Jawa Timur pertama yang gugur akibat pemberontakan PKI di Madiun 1948 .Monumen ini terletak di Komplek Taman Apsari. Jl. Gubenur Suryo di depan gedung Negara Grahadi.

Sumber :
 Dinas Pariwisata


5. Tugu Pahlawan
Tragedi pada tanggal 10 November 1945 dalam episode sejarah yang lalu membuat Surabaya terkenal sebagai Kota Pahlawan itu merupakan salah satu alasan mengapa Tugu Pahlawan di bangun. Walaupun banyak patung atau monumen di Surabaya, yang satu ini paling penting.
Tugu Pahlawan berdiri bagai sebuah roket yang menjulang tinggi di Taman Kebunrojo bersebrangan dengan kantor Gubenur Jawa Timur di Jl. Pahlawan. Monumen Tugu Pahlawan menjadi pusat perhatian setiap tanggal 10 November, di mana tahun 1945 para pahlawan gugur dalam perang kemerdekaan.

Sumber :
 Dinas Pariwisata

6. Monumen Wira Surya
Pada Tanggal 28 - 30 Oktober 1945, disekitar jembatan dan Kebun Binatang terjadi pertempuran antara pejuang surabaya yang berusaha menahan tentara Sekutu dibawah pimpinan Brig. Jenderal Mallaby hingga mengakibatkan banyak pejuang Indonesia yang gugur.

Sumber :
 Dinas Pariwisata

7. Monumen Kapal Selam
Nenek moyangku orang pelaut......merupakan sebait lirik lagu yang sering terdengar atau terkadang kita nyanyikan. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa bahari. Untuk mengenang dan menjaga warisan bangsa serta menambah obyek wisata yang juga dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang salah satu armada TNI Angkatan Laut (AL), tepat tanggal 1 Juli 1995 dengan diletakkannya batu pertama pondasi monumen oleh Gubernur Jawa Timur Basofi Soedirman didampingi oleh Pangarmatim Laksda TNI Gofar Soewarno merupakan awal dibangunnya monumen kapal selam KRI Pasopati dengan nomor lambung 410.
Kapal selam KRI Pasopati 410 salah satu kapal selam TNI AL dari satuan Kapal Selam Armada RI kawasan Timur. KRI Pasopati termasuk jenis SS type whisky class di buat di Vladi Rusia tahun 1952. Masuk jajaran TNI AL (Satselarmatim) tanggal 29 Januari 1962 dengan tugas pokok menghancurkan garis lintas musuh (anti shipping), mengadakan pengintaian dan melakukan "silent raids". KRI Pasopati juga berperan aktif menegakkan kedaulatan negara dan hukum di laut yurisdiksi nasional, misalnya dalam operasi Trikora. KRI Pasopati terlibat langsung di garis depan, memberi tekanan-tekanan psikologis terhadap lawan, sehingga Irian Barat/Jaya (sekarang Propinsi Papua), dapat kembali ke dalam wilayah RI. Selain itu masih banyak operasi penting lainnya yang telah dilaksanakan. Diantaranya empat belas Komandan berpangkat Perwira menengah telah memimpin KRI Pasopati. Komandan Pertama Mayor Laut (P) Yasin Sidirjo, dan Komandan Terakhir Mayor Laut (P) Imam Zaki. KRI Pasopati dinonaktifkan dari jajaran TNI AL pada tgl 25 Januari 1990 ditandai dengan penurunan "Ular-ular Perang" dalam suatu upacara militer di Ujung Surabaya.

Sumber :
 Dinas Pariwisata

8. Monumen Bahari
Monumen ini terletak tepat di depan Museum Mpu Tantular, disudut antara jalan Raya Diponegoro dan Raya Darmo di wilayah Surabaya Selatan yang didirikan oleh Angkatan Laut Republik Indonesia untuk memperingati jasa - jasa para perajuritnya yang gugur dalam membela kemerdekaan negara Indonesia.

Sumber :
 Dinas Pariwisata

9. Monumen Jalesveva Jayamahe
Monumen Jalesveva Jayamahe yang terletak diujung Utara Surabaya menampilkan sosok Perwira TNI Angkatan Laut berpakaian PDU - 1 lengkap dengan pedang kehormatan menatap kearah laut berdiri tegak di atas bangunan gedung dengan ketinggian keseluruhan mencapai 60,6 m. Menggambarkan generasi penerus dengan penuh keyakinan dan kesungguhan siap menerjang ombak badai menuju arah yang telah ditunjukkan yaitu cita-cita bangsa Indonesia.

Sumber :
 Dinas Pariwisata

10. Monumen Perjuangan POLRI
Monumen ini melambangkan semangat perjuangan serta kegigihan pejuang yang tergabung dalam perjuangan POLRI dalam melawan penjajah dengan senjata seadanya sehingga berhasil menguasai Gedung St. Louis Jalan Dr. Sutomo - Surabaya Pusat yang letaknya berdekatan dengan lokasi monumen ini

Sumber :
 Dinas Pariwisata

11. Monumen Ronggolawe
Monumen ini terletak di jalan Taman Joyoboyo tepat dibelakang terminal angkutan kota Joyoboyo. Didirikan sebagai peringatan bahwa Surabaya memiliki sosok yang berani dan berjiwa kepahlawanan yang tinggi.


Dalam monumen ini tertulis :
Ronggolawe
Persada nusantara diwarnai kebesaran
Persada nusantara diwarnai perjoangan
Pernah terukir indah sekelumit,
Dari perjoangan yang besar.
Dimasa menegakkan panji panji majapahit
Ronggolawe tampil bersama laskar kudanya.
Derap tapak kuda menggema bersatu
Bersama divisi ronggolawe.
Derap tapak kuda menggema bersama
Ronggolaweku
Diseluruh persada nusantara

Sumber :
 Dinas Pariwisata

12. Patung Sura dan Buaya
Patung Sura dan Buaya ini merupakan lambang dari kota Surabaya. Yang berada didaerah Diponegoro tepat didepan Kebun Binatang Surabaya. Dua hewan ini yang menjadi inspirasi nama kota Surabaya. Surabaya adalah ibu kota provonsi Jawa Timur dan kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia dengan penduduk kurang lebih` 3 juta jiwa. Sebuah kota metropolis yang bernuansa religius, masyarakatnya mempunyai rasa kesetiakawanan yang tinggi dan semangat kepahlawanan yang pantang kenal menyerah. Kota Surabaya kini telah tumbuh berkembang sebagai pusat perindustrian, perdagangan, jasa, maritim dan pendidikan bagi kawasan Indonesia bagian timur. Dengan luas areal 290.4 km persegi dan mempunyai angka pertumbuhan penduduk sekitar 2,06 % per tahun Kota Surabaya telah menjadi daya tarik tersendiri bagi dunia usaha karena merupakan pasar yang besar sekaligus akses menuju ke wilayah Indonesia belahan timur.

Sumber :
 Dinas Pariwisata

13. Joko Dolog
Ditengah kota Surabaya, tepatnya di Taman Apsari, yaitu di jalan Joko Dolog, terdapat beberapa peninggalan kuno yang merupakan warisan budaya nenek moyang. Salah satu peninggalan tersebut adalah arca Budha Mahasobya yang lebih dikenal dengan nama JOKO DOLOG. Pada lapiknya terdapat prasasti yang merupakan sajak, memakai huruf Jawa kuno, dan berbahasa Sansekreta. Dalam prasasti tersebut disebutkan tempat yang bernama Wurare, sehingga prasastinya disebut dengan nama prasasti Wurare.
Arca Budha Mahasobya ini berasal dari Kandang Gajak. Pada 1817 dipindahkan ke Surabaya oleh Residen de Salis. Daerah kandang Gajak dulu merupakan wilayah Kedoeng Wulan, yaitu daerah dibawah kekuasaan Majapahit. Pada masa penjajahan Belanda termasuk dalam Karesidenan Surabaya, sedangkan masa sekarang termasuk wilayah desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur.
Arca Budha Mahasobya, yang terkenal dengan nama Joko Dolog ini, sekarang banyak dikunjungi orang-orang yang mohon berkah. Namun jika melihat lapiknya, disebut prasati Wurare, sangat menarik karena memuat beberapa data sejarah di masa lampau.
Angka prasasti menunjukkan 1211 Saka dan ditulis oleh seorang abdi raja Kertajaya bernama Nada. Prasasti yang berbentuk sajak sebanyak 19 bait ini, isi pokoknya dapat dirinci menjadi 5 hal, yaitu :
1. Pada suatu saat ada seorang pendeta yang benama Arrya Bharad bertugas membagi Jawa menjadi 2 bagian, yang kemudian masing-masing diberi nama Jenggala dan Panjalu. Pembagian kekuasaan ini dilakukan karena ada perebutan kekuasaan diantara putra mahkota.
2. Pada masa pemerintahan raja Jayacriwisnuwardhana dan permaisurinya, Crijayawarddhani, kedua daerah itu disatukan kembali.
3. Pentahbisan raja (yang memerintahkan membuat prasasti) sebagai Jina dengan gelar Cri Jnanjaciwabajra. Perwujudan sebagai Jina Mahasobya didirikan di Wurare pada 1211 Saka.
4. Raja dalam waktu singkat berhasil kembali menyatukan daerah yang telah pecah, sehingga kehidupan menjadi sejahtera.
5. Penyebutan si pembuat prasasti yang bernama Nada, sebagai abdi raja.
Beberapa data tersebut jka dipadukan dengan data-data sejarah yang lain seperti kitab Negarakretagama, Pararaton, dan prasasti-prasasti yang lain, akan menghasilkan kerangka sejarah yang gambling. Sebelumnya kita tinjau kembali lima tokoh yang disebutkan dalam prasasti Wurare tersebut. Kelima tokoh tersebut adalah Arrya Bharad, Jayacriwisnuwarddhana yang disebut juga dengan nama Crihariwarddhana, Crijayawarddhani, Raja (yang memerintah membuat prasasti), dan Nada (sebagai pelaksana pembuat prasasti).
Siapa sebetulnya raja yang memerintah membuatkan prasati ini ? Jawabnya tidak lain adalah raja Kertanegara, yaitu raja Singosari terakhir. Dalam prasasti disebutkan bahwa ia adalah anak raja Crijayawisnuwarddhana dengan Crijayawarddhani. Nama Crijayawisnuwarddhana sekarang lebih dikenal dengan nama Wisnuwarddhana atau Ranggawuni.Kemudian Arrya Bharad, nama ini dikenal pada masa pemerintahan raja Airlangga. Sedangkan Nama sudah jelas disebutkan bahwa ia adalah abdi raja. Selanjutnya dari prasasti ini dapat diketahui data-data sejarah yang penting sebagai berikut :
Pada jaman kerajaan Medang, yaitu masa akhir pemerintahan raja Airlangga, tepatnya 963 Saka, terjadi pembagian kerajaan menjadi dua. Hal ini terpakasa dilakukan untuk menghindari perebutan kekuasaan diantara 2 putra mahkota. Pembagian kerajaan dilakukan oleh seorang pendeta yang sangat terkenal kesaktiannya, bernama Arrya Bharad. Caranya membasahi dan membelah bumi dengan air kendi yang berkilat, Kedua kerajaan ini dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas, dan masing-masing disebut kerajaan Jenggala dan Panjalu. Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas, dengan pelabuhan Surabaya, Rembang, dan Pasuruan. Ibukotanya adalah Kahuripan, yaitu bekas ibukota kerajaan Airlangga. Sedangkan kerajaan Panjalu, yang kemudian dikenal dengan nama Kediri, meliputi daerah Kediri dan Madiun. Ibukotanya Daha, yang mungkin didaerah Kediri sekarang.
Pada jaman kerajaan Singosari, tepatnya pada masa pemerintahan raja Wisnuwarddhana, kerajaan Panjalu dan Jenggala berusaha disatukan kembali dibawah kekuasaan kerajaan Singosari. Usaha yang dilakukan raja Wisnuwarddhana untuk mempersatukan tersebut dengan cara mengawinkan anaknya yang bernama Turukbali dengan Jayakatwang yang meupakan keturunan raja Kediri terakhir yaitu raja Kertajaya. Jayakatwang yang merasa bahwa ia adalah pewaris sah atas tahta Kediri sehingga ia berusaha merebut kembali kekuasaannya.
Ulahnya yang selalu berusaha merebut kekuasaan itulah yang ingin dicegah raja Wisnuwarddhana dengan jalan mengadakan perkawinan politik tersebut. Usaha itu kemudian dilanjutkan oleh keturunannya yang bernama raja Kertanegara yang mengawinkan anaknya dengan anak Jayakatwang yang bernama Arddhara.
Kenyataan tetap membuktikan bahwa usaha yang baik tidak selalu lancar. Jayakatwang tetap berusaha merebut kekuasaan. Kertanegara dianggap sebagai orang yang tidak berhak atas tahta kerajaan. Cara yang ditempuh Kertanegara untuk menunjukkan bahwa ia adalah putra mahkota yang sah yaitu dengan menyebutkan Crijayawisnuwarddhana dan Crijayawarddhani sebagai orang tuanya dalam prasasti Wurare itu. Disamping itu, disebutkan bahwa Kertanegara adalah raja yang pandai dalam dharma dan sastra, serta sebagai pendeta dari keempat pulau. Ia dikukuhkan sebagai Jina Mahasobya dengan gelar Crijnanaciwabajra.
Maksud pengukuhannya sebagai Jina adalah untuk menunjukkan kekuasaan dan kebesaran dirinya. Mahasobya adalah dewa Aksobhya tertinggi. Sebutan Kertanegara sebagai Mahasobhya berarti ia mempunyai sifat yang ada dalam diri Dewa Aksobhya dan emanasinya, yaitu mempunyai sifat damai, berkuasa, dan kekuasaannya yang tiada tandingannya. Sedangan gelarnya sebagai Cri Jnannaciwabajra dapat berarti bahwa ia adalah orang yang mempunyai pengalaman atau berpengalaman seperti Dewa Siwa, serta dapat memusnahkan kejahatan untuk kesejahteraan semua umat manusia.
Selain itu, gelar-gelar Kertnegara tersebut juga mempunyai latar belakang politik. Raja Kertanegara ingin menyaingi raja Kubilai Khan yang dikukuhkan sebagai Jina Mahamitabha. Persaingan ini timbul karena raja Kubilai Khan ingin berkuasa diseluruh Asia Tengara. Tetapi raja Kertanegara tidak mau tunduk begitu saja. Pada 1211 Saka, utusan dari raja Kubilai Khan bernama Meng-Ch’I, yang meminta pengakuan kekuasaan Kubilai Khan, ditolak dan disuruh pulang ke Mongol oleh raja Kertanegara. Semua itu dilakukan bertepatan dengan dibuatnya prasasti Wurare yang menyatakan kekuasaan dan kebesaran raja Kertanegara sebagai Jina Mahasobhya. Mahasobhya adalah Jina yang menguasai mata angin sebelah timur, sedangkan Mahamitabha menguasai mata angin sebelah barat. Dengan demikian Kubilai Khan menguasai wilayah bagian barat sedangkan Kertanegara menguasai wilayah bagian timur.
Dari semua keterangan tersebut dapat diketahui bahwa arca Joko Dolog merupakan perwujudan raja Kertanegara sendiri. Sedangkan prasasti yang dipahatkan mengelilingi lapiknya mengandung nilai sejarah politik yang penting. Terutama sebagai bukti bahwa bangsa kita sejak jaman dahulupun tidak mau begitu saja menyerah kepada penjajah asing. Juga berusaha menggalang persatuan untuk menegakkan kekuatan.
Sumber :
 Dinas Pariwisata

14. Museum Loka Jaya Srana
Berlokasi di Morokrembangan kompleks Angkatan Laut Indonesia (Surabaya Utara), sebelah Selatan pelabuhan. Museum ini memperagakan peralatan armada laut, sebuah koleksi dari planetarium, astronavigadium, pemelitian planetarium dan peralatan perang Angkatan laut RI.

Sumber :
 Dinas Pariwisata

15. Museum Mpu Tantular (Kini tidak difungsikan lagi sebagai museum)
Eks Museum Mpu Tantular ini merupakan perkembangan dari museum sejarah Stedelijk di Surabaya yang didirikan oleh Von Vaber dari Jerman, yang saat ini dia sudah menjadi warga Surabaya. Gedung ini berdiri sejak tahun 1933, dan baru diresmikan pada tanggal 25 Juli 1937 di Jalan Pemuda 33 Surabaya.
Ide dibangunnya museum oleh Von Vaber yaitu untuk mengungkapkan sejarah kota Surabaya sebagai kota kelahiran. Mempersembahkan suatu Lembaga Kebudayaan yang pada akhirnya diwujudkan dalam bentuk museum.
Usaha-usaha ini dirintis oleh Von Vaber dimulai dengan mengumpulkan data secara sistematis sebagai bahan penulisan buku "OLD SURABAYA" (Surabaya Lama). Setelah buku tersebut dapat diterbitkan, langkah berikutnya adalah penulisan buku "NEW SURABAYA" (Surabaya Baru) yang diterbitkan tahun 1933.
Demi menjaga kelangsungan hidup museum maka museum Mpu Tantular ditempatkan dibawah yayasan Pendidikan Umum. Selanjutnya timbul inisiatif untuk menyerahkan museum ini kepada Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Timur. Peresmian dilakukan pada tanggal 1 Nopember 1974. Selanjutnya Museum Negeri Jawa Timur ini diberi nama Mpu Tantular dengan lokasi awalnya dijalan Pemuda 3 Surabaya. Karena penambahan koleksinya maka pada pertengahan bulan September - Oktober 1975 museum ini dipindahkan ke Jalan Taman Mayangkara 6 Surabaya, yang peresmiannya pada tanggal 12 Agustus 1977.
Bangunan eks museum ini terdiri dari dua bagian yaitu bagian depan (gedung utama) dan bagian belakang (gedung baru). Gedung utama digunakan untuk pameran tetap yang dilanjutkan di gedung baru pada lantai bawah bagian Timur. Lantai atas digunakan untuk ruang Tata Usaha dan Ruang Kepala Museum.
Pada gedung baru lantai bawah sebelah Barat digunakan untuk Laboratorium Konservasi (Preparasi) dan Ruang Pameran Temporer, sedangkan pada bagian atasnya digunakan untuk ruang Perpustakaan dan Ruang Auditorium.
Gedung eks Museum Mpu Tantular Surabaya berada di Jl. Taman Mayangkara No. 6 Surabaya, mempunyai lokasi yang strategis, karena berada diantara Jalan Raya Darmo dan Jalan Diponegoro dan Lokasi ini berseberangan dengan kebun binatang Surabaya.

Sumber :
 Dinas Pariwisata

“STASIUN SURABAYA KOTA”

Stasiun Surabaya Kota yang populer dengan nama Stasiun Semut terletak di kota Surabaya. Letaknya sebelah utara Stasiun Gubeng dan juga merupakan stasiun tujuan terakhir di kota Surabaya dari jalur kereta api selatan pulau Jawa yang menghubungkan Surabaya dengan Yogyakarta dan Bandung serta Jakarta. Stasiun lain yang juga penting di Surabaya adalah Stasiun Pasar Turi yang menghubungkan Surabaya dengan Semarang. Baru dalam masa kemerdekaan, Jawatan Kereta Api mengadakan layanan kereta api antara Jakarta dan Surabaya Pasar Turi melalui Semarang.
Berdasarkan sejarahnya, Stasiun Surabaya Kota dibangun ketika jalur kereta api Surabaya-Malang dan Pasuruan mulai dirintis sekitar tahun 1870. Tujuannya untuk mengangkut hasil bumi dan perkebunan dari daerah pedalaman Jatim, khususnya dari Malang, ke Pelabuhan Tanjung Perak yang juga mulai dibangun sekitar tahun itu. Gedung ini diresmikan pada tanggal 16 Mei 1878. Dengan meningkatnya penggunaan kereta api, pada tanggal 11 Nopember 1911, bangunan stasiun ini mengalami perluasan hingga ke bentuknya yang sekarang ini.
Stasiun Surabaya Kota menjadi stasiun ujung untuk kereta api-keretapi api ekspres terbaik pada masanya, mulai dari Eendaagsche yang menghubungkan Jakarta dengan Surabaya dalam waktu tercepat 11 jam 30 menit pada tahun 1930-an, hingga kereta ekspres malam Bima yang hingga awal 1990-an membawa kereta tidur.
Stasiun kereta api ini ditetapkan sebagai cagar budaya oleh walikota Surabaya dengan surat keputusan Nomor 188.45/251/402.1.04/1996, tanggal 26 September 1996. Stasiun itu ditetapkan sebagai bangunan yang harus dipertahankan bersama 60 bangunan lainnya di kota Surabaya. Keberadaannya terancam dengan rencana pembangunan pusat perbelanjaan dan kawasan pertokoan yang mengancam rusaknya keaslian lanskap stasiun itu, seperti halnya Stasiun Jakarta Kota di Jakarta. Bahkan sempat terjadi pembongkaran kawasan itu yang ironisnya melibatkan PT. Kereta Api Indonesia.

Sumber :
 http://id.wikipedia.org/wiki/Stasiun_Surabaya_Kota





BAB IV
RUSAK, HANCUR, DAN KURANG TERAWATNYA CAGAR BUDAYA DI SURABAYA

Perlahan namun pasti, bangunan-bangunan cagar budaya di kota Surabaya bakal semakin habis. Setelah Stasiun Semut, kini bekas Rumah Sakit Mardi Santoso di kawasan Jl Bubutan bakal disulap menjadi pusatperbelanjaan modern, alias mal (Jawa Pos 23/7/05). Menurut rencana, pusat perbelanjaan yang akan diberi nama Buthan Trade Mall (BTM) itu dibangun sepuluh lantai, dengan total investasi diperkirakan antara Rp 300 miliar sampai Rp 350 miliar. (Jawa Pos 25/7/05).
Keberadaan beberapa cagar budaya di Surabaya kurang terurus. Bangunan bersejarah makam pencipta lagu Indonesia Raya, WR Supratman, misalnya, kondisinya sangat memprihatinkan. Bahkan areal di depan makam dijadikan tempat parkir gerobak sampah. Kepala Seksi Kepurbakalaan Dinas P dan K Kota Surabaya, Drs Suparno, di kantor Dewan Kesenian Surabaya, Selasa (14/6) mengatakan, tidak mudah memperbaiki dan membangun kembali bangunan sejarah cagar budaya di Surabaya. Hal itu karena banyaknya gedung tua bernilai sejarah yang tidak terurus, bahkan kehilangan bentuk aslinya setelah direnovasi.
Menurut Suparno, peninggalan purbakala tersebut merupakan benda cagar budaya yang perlu dijaga dan dilestarikan karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan baik agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan maupun kebudayaan, dengan catatan sejauh tidak bertentangan dengan UU RI No. 5 Th 1992 tentang Benda Cagar Budaya. “Namun kenyataanya, hingga sekarang pelestarian benda cagar budaya atau bangunan cagar budaya di Surabaya kurang maksimal. Sebagai contoh, renovasi Stasiun Semut, Patung Joko Dolog di Jl Taman Apsari, tidak sesuai peruntukannya. Sementara Jembatan Petekan dan Pintu Air Jagir Wonokromo malah berhias gubug-gubuk plastik, sehingga terkesan kumuh tidak terurus,” imbuhnya.
Oleh sebab itu, imbau Soeparno, sangat diperlukan kerjasama yang baik antar instansi pemerintah terkait seperti Disparta, Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Pemkot Surabaya dan Pemprop Jatim. Hal ini sangat penting agar segera tercapai tujuan pelestarian cagar budaya yang tersebar di di Jatim khususnya Surabaya. “Hal ini sejalan dengan program Diknas yang antara lain berusaha menyelamatkan, membina dan mengembangkan budaya bangsa, memupuk rasa kebanggaan nasional, memperkukuh kesadaran jati diri bangsa, serta menunjang pembangunan nasional di bidang ilmu pengetahuan, pendidikan dan pariwisata,” urainya.
Cagar budaya di Surabaya yang masih terawat dengan baik, kata Soeparno, yakni Gedung Negara Grahadi Jl Gubernur Suryo, Gedung Nias Jl Prof Dr Mustopo Surabaya, Mesjid Ampel, Kelurahan Ampel, Kec Pabean Cantikan Surabaya, Gedung HVA (Handels Vereeniging Amsterdam) Jl Merak Surabaya dan Rumah Sakit Darmo Jl Darmo Surabaya.
Suparno menambahkan, untuk melestarikan bangunan cagar budaya di Jatim perlu ketekunan, kebersamaan dan kesadaran sepenuhnya dari masyarakat dan instansi pemerintah dengan selalu melakukan survei ke lapangan untuk mengumpulkan data dan informasi arkeologi tentang peninggalan sejarah dan purbakala yang ada. (-Berita Pertanahan - Dinas Informasi dan Komunikasi, 15-06-2005 06:06 WIB -).
Surabaya, Kompas - Pembangunan yang pesat di Kota Surabaya akibat pengaruh pertumbuhan ekonomi jangan sampai merusak bangunan bersejarah yang ada. Untuk melindungi bangunan cagar budaya itu diperlukan tindakan tegas sesuai peraturan daerah yang berlaku. Demikian diungkapkan Prof Dr Aminuddin Kasdi usai pengukuhannya sebagai Guru Besar Sejarah Indonesia pada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Rabu (7/5), di Surabaya. Dalam pengukuhan itu Pof. Dr. Aminuddin Kasdi membawakan pidato berjudul Penulisan Sejarah Lokal; Pengungkapan Pengalaman dan Potensi Daerah dalam Spektrum Otonomi.
Prof. Dr. Aminuddin Kasdi tidak memungkiri apabila dalam proses pembangunan di Surabaya ada sejumlah bangunan bersejarah maupun bangunan kuno yang ikut tergusur. Sebagai contoh, pembongkaran Toko Nam yang terletak di tikungan antara Jalan Basuki Rahmat dan Embong Malang yang termasuk kawasan cagar budaya Jalan Tunjungan yang hingga kini masih kontroversial. Contoh lainnya adalah penghancuran Rumah Sakit Simpang yang kini menjadi Hotel Surabaya Plaza. "Bangunan rumah sakit ini memiliki nilai sejarah yang tinggi, karena pernah menjadi tempat perawatan perwira yang terluka pada masa perjuangan. Bahkan, mereka yang gugur dikuburkan di daerah itu pula," katanya. Yang paling akhir terjadi adalah penghancuran Pasar Wonokromo yang dinilai tanpa pandang bulu dan tergesa-gesa. Akibatnya, sebagian bangunan berarsitektur jengki tahun 1960-an itu ikut digaruk ekskavator.
Guru Besar Sejarah Indonesia ini juga menegaskan, ketika Pemerintah Kota Surabaya mendata bangunan cagar budaya pada tahun 1993, Pasar Wonokromo belum sempat diteliti karena keterbatasan dana. Padahal, bangunan itu menjadi landmark sekaligus bagian dari sejarah Kota Surabaya. Oleh karena itu, untuk tetap bisa mengenang gaya arsitektur unik ini, pembangunan pasar modern di bekas Pasar Wonokromo nanti desainnya harus menyesuaikan dengan Pasar Wonokromo lama. "Tampaknya pemerintah kota sudah menyertakan ciri khas bangunan jengki itu kepasar modern yang dibangun itu," tambahnya.

Ratifikasi UU
Pembangunan suatu kawasan perlu memperhatikan apa yang terjadi di masa silam dan tidak merusak bukti sejarah ini. Jika ternyata ada peristiwa bersejarah di tempat itu, sebaiknya pembangunan tidak mengubah bentuk asli, termasuk landscape-nya. Bangunan yang bersejarah, menurut Prof. Dr. Aminuddin Kasdi, merupakan bagian dari sejarah lokal sekaligus identitas suatu daerah. Sampai saat ini, Pemerintah Kota Surabaya setidaknya telah mendata sekitar 183 bangunan cagar budaya.
Hanya saja, untuk melindungi bangunan cagar budaya tersebut diperlukan peraturan daerah yang tegas. Peraturan di tingkat nasional, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Perlindungan Benda Cagar Budaya harus diterjemahkan dalam peraturan daerah. Peraturan yang telah ada juga tidak boleh bertentangan. "Jangan sampai kejadiannya seperti di kawasan Jalan Darmo yang kini tidak terbatas lagi sebagai tempat permukiman. Meskipun sudah ada surat keputusan dari wali kota, tetapi kalah dengan perda peruntukan ruang. Surat keputusan harus dikuatkan menjadi perda," ujarnya.
Ia juga menyayangkan banyaknya investor yang tidak memahami dan melanggar prosedur pembangunan di kawasan cagar budaya. Sebagai contoh adalah pembangunan gedung kantor Pelni. "Pembongkaran terlebih dahulu dilakukan, baru kemudian dilaporkan ke dinas pembangunan, sehingga tidak ada lagi yang dapat diperbuat," ujarnya menyesalkan.


















BAB V
KESIMPULAN

Surabaya sebagai ibukota Jawa Timur memang tidak hanya dikenal sebagai kota terbesar kedua dan kota pelabuhan terbesar kedua di Indonesia. Surabaya juga merupakan salah satu kota tertua di Indonesia dengan usia sekitar 712 tahun. Julukan yang paling terkenal bagi kota ini adalah Kota Pahlawan karena keberanian arek-arek Suroboyo dalam berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan pada akhir Perang Dunia II.
Dalam usianya yang cukup tua, Surabaya banyak memiliki warisan kota yang dilindungi melalui peraturan daerah maupun keputusan walikota. Di kota ini, banyak ditemui tempat-tempat bersejarah yang memiliki koleksi benda-benda cagar budaya. Cagar budaya sendiri dapat berupa benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun. Bisa juga mewakili masa gaya yang khas dan mewakili gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Benda penting yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan juga bisa dikategorikan sebagai benda cagar budaya.
Perlahan namun pasti, bangunan-bangunan cagar budaya di kota Surabaya bakal semakin habis. Setelah Stasiun Semut, kini bekas Rumah Sakit Mardi Santoso di kawasan Jl Bubutan bakal disulap menjadi pusatperbelanjaan modern, alias mal (Jawa Pos 23/7/05). Menurut rencana, pusat perbelanjaan yang akan diberi nama Buthan Trade Mall (BTM) itu dibangun sepuluh lantai, dengan total investasi diperkirakan antara Rp 300 miliar sampai Rp 350 miliar. (Jawa Pos 25/7/05).
Peninggalan purbakala tersebut merupakan benda cagar budaya yang perlu dijaga dan dilestarikan karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan baik agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Namun kenyataanya, hingga sekarang pelestarian benda cagar budaya atau bangunan cagar budaya di Surabaya kurang maksimal. Sebagai contoh, renovasi Stasiun Semut, Patung Joko Dolog di Jl Taman Apsari, tidak sesuai peruntukannya. Sementara Jembatan Petekan dan Pintu Air Jagir Wonokromo malah berhias gubug-gubuk plastik, sehingga terkesan kumuh tidak terurus.
Oleh sebab itu, sangat diperlukan kerjasama yang baik antar instansi pemerintah terkait seperti Disparta, Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Pemkot Surabaya dan Pemprop Jatim. Hal ini sangat penting agar segera tercapai tujuan pelestarian cagar budaya yang tersebar di di Jatim khususnya Surabaya.
Mahasiswa sebagai kaum intelektualitas yang mempunyai citra “penerus perjuangan bangsa Indonesia” akankah tetap diam dalam menanggapi masalah tersebut? Sebagai kaum intelektual sudah sepantasnya-lah kita tetap memperjuangkan agar cagar budaya di Indonesia khususnya di Jawa Timur tetap eksis, karena benda cagar budaya merupakan peninggalan nenek moyang kita yang mempunyai nilai yang sangat berharga sekali.
Bagaimana kita bisa meneruskan perjuangan bangsa Indonesia jika menjaga cagar budaya saja tidak bisa? Bagaimana kita bertanggung jawab kepada anak cucu kita jika kita tetap diam melihat kesewenang-wenangan pemerintah menghancurkan cagar budaya yang seharusnya dapat mereka warisi? Yang pasti cagar budaya di Indonesia khususnya di Surabaya harus tetap kita perjuangkan.
Pemerintah Kota Surabaya seharusnya mengerti tentang apa itu sebenarnya cagar budaya? Dan bagaimana makna yang tersirat dinalamnya? Bukan malah menghancurkannya, yang hanya demi uang maka mereka lupa akan peninggalan nenek moyangnya. Memang benar apa yang dikatakan masyarakat sekarang ini, bahwa manusia dapat dibutakan oleh tiga hal yaitu, kekuasaan (jabatan/kedudukan), wanita, dan uang. Mungkin istilah yang pantas bagi para pemegang pemerintahan, khususnya Pemerintah Kota Surabaya adalah mereka dibutakan oleh uang sehingga rela menghancurkan cagar budaya deni mendapatkan sepeser uang.

Saat ini mungkin bangsa Indonesia sudah kehilangan jati dirinya, karena mereka sudah tidak bisa lagi menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Padahal Pak Karno sudah pernah mengungkapkan dengan filsafatnya yaitu “Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa-jasa pahlawanny”. Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawannya namun pemerintahannya saat ini tidak bisa menghargai jasa pahlawannya.
Namun kita jangan hanya menyalahkan Pemerintah Kota Surabaya saja, kita harus introfeksi diri. Sebagai mahasiswa kita harus bisa tetap memperjuangkan cagar budaya yang ada di Surabaya walaupun nota bene kita bukan orang Surabaya asli. Mari kita timbulkan dan tingkatkan rasa kecintaan kita terhadap kota Pahlawan yaitu kota Surabaya (kota penuh ragam cagar budaya).

“Tanpa Cagar Budaya Indonesia Akan Hancur.”
Dan
“Mari Kita Pertahankan Cagar Budaya Yang Ada Di Surabaya”

0 komentar:

At a Glance

Check Page Rank of any web site pages instantly:
  
This free page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service

Pengikut

Meteran

sing moco

Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger templates

Welcome to Awalxander's Kingdom

Free Guestbook
My Guestbook

Awak Ndepor

Foto Saya
Awal Age Permadi
Lihat profil lengkapku